AMBON, SPEKTRUM – Kasus dugaan tukar guling lahan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Maluku dengan lahan Yayasan Poitech Hok Tong tahun 2017, belum juga kelar penyelidikaanya.
Meski demikian, penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda Maluku mengaku serius mengusutnya. Hanya saja tertutup perkembangan kasusnya dengan alasan penyelidikan.
“Itu lidik. Masih penyelidikan. Namanya penyelidikan ya tertutup. Ikuti aja, jalan kok,” ungkap Direktur Ditreskrimsus Polda Maluku, Kombes Pol Eko Santososo kepada Spektrum, Senin (23/11) melalui selulernya.
Penyelidikan serius dilakukan penyelidik Ditreskrimsus Polda Maluku dibuktikan dengan sejumlah Anggota DPRD Maluku, Edwin Huwae, Mudsakir Asegaff, Richard Rahakbauw, dan Nia Pattiasina yang telah diperiksa. Termasuk mantan Mantan Anggota DPRD Maluku dari Komisi I, Melkias Frans dan mantan Gubernur Maluku, Said Assagaff.
Said Assagaff kabarnya diperiksa di Jakarta saat itu. Sementara Melkias Frans diperiksa penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda Maluku, Jumat 28 Agustus 2020.
Di hadapan penyidik saat itu, Melkian Frans diperiksa selama dua jam seputar dugaan tukar guling lahan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Maluku dengan lahan Yayasan Poitech Hok Tong tahun 2017.
Dalam tukar guliang tahun 2017, diketahui terdapat dugaan markup, hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Maluku tahun 2018 yang mengakibatkan negara rugi miliaran rupiah.
Saat itu Politisi Partai Demokrat ini tiba di Markas penyidik yang terletak di Mangga Dua, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon sekira pukul 09,30 WIT. Ia menggunakan mobil Kijang Innova berplat nomor DE 1696 AI.
Mengenakan kemeja lengan pendek warna pink, Melky sapaan akrabnya iti masuk ke ruangan Tipidter (Tidak Pidana Tertentu) untuk dimintai keterangan perihal masalah tukar guling lahan.
Usai memberi keterangan, Melky Frans mengatakan, dirinya memenuhi undangan dalam rangka memberih keterangan soal tukar guling lahan antara Pemerintah Provinsi Maluku dengan Yayasan Poitech Hok Tong.
“Saya sudah dipanggil bulan lalu (Juli) oleh Krimsus Polda Maluku dalam rangka untuk memberi keterangan terkait dengan permasalahan Yayasan Poitech dengan Pemerintah Maluku khusus lahan dan Perpustakaan. Komisi I tahun 2017 lalu membahas masalah ini. Karena aset daerah jadi harus ada persetujuan DPRD,” kata dia.
Ia mengaku, Komisi A saat itu dipimpinya. Dimana, persoalan tersebut sebelumnya dibahas di komisis A berdasarkan surat masuk dari Yayasan Poitech dan Pemprov Maluku.
Pemda dalam hal ini, Gubernur Maluku, Said Asagaff saat itu dan para pihak termasuk kepala perpustakaan, Biro Hukum dan BPKAD duduk membahasnya bersama kuasa hukum dari Poitech juga Pemda.
“Nah karena terkait dengan aset daerah harus ada persetujuan dari DPRD. Saya ketua komisi A (saat itu) dipanggil Krimsus untuk memberi keterangan. Karena itu hari ini saya datang karena baru tiba dari Jakarta untuk memenuhi undangan dari Krimsus dan saya telah memberikan keterangannya. Nanti ada perbaikan-perbaikan tentang keterangan, karena saya belum tanda tangan dan lainnya,” sebut dia.
Ia juga mendorong proses perkara ini. Dimana, kasus ini kabarnya ada temuan BPK yang menyatakan, dalam proses pengalihan lahan atau tukar menukar lahan antara Pemprov dan Poitech, diduga ada kerugian negara di dalamnya.
“Jadi saya mau clear kan. Itu lahan perpustakaan itu sebenarnya milik Poitech. Jadi pada saat pergolakan PKI pada tahun 1965, Maluku ini dinyatakan sebagai daerah darurat sipil atau militer. Jadi kepala daerahnya adalah kepala daerah darurat. Karena mereka ini orang China, orang China kan saat itu diduga dukung PKI sehingga Yayasan China atau sekolah itu diambil alih oleh pemerintah darurat ketika itu. pasca dingin, selesai ini dibawah pengawasan Kementerian Pertahanan dan diberikan kepada Dikbud, otonomi kemudian diserahkan kepada Provinsi,” jelas Melky.
Dan oleh Pemprov Maluku, kata Melky, kemudian mengurus surat sertifikat hak pakai lalu dibangunlah perpustakaan. Ternyata ini hak milik orang lain. Di perjalanan, Yayasan Poitech meminta lahannya dikembalikan oleh Pemprov.
Poitech karena merasa, mereka dengan pemerintah bermitra, mereka lalu berikan lahan baru di Poka, sebagai ganti lahan dalam bentuk terima kasih. Sementara bagunan perpustakaan, dipakai lembaga apresiasial untuk menghitung nilai bangunan.
“Jadi ini ada kelemahan di pemerintah provinsi adalah mereka membuat judul di situ tukar menukar lahan jadi seakan akan dia terjadi tukar guling. Padahal, ini kan lahan orang yang mau diambil kembali. Jadi ini ada kesalahan administratif yang berimplikasi pada persoalan hukum karena Judulnya lain kan,” tegas dia. (S-07)