AMBON, SPEKTRUM – Nasib Proyek Nasional Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Namlea, Kabupaten Buru, yang rencananya akan menyuplai pasokan kebutuhan listrik di Kabupaten Buru dan Buru Selatan, terancam gagal.

Pemilik lahan yang akan digunakan untuk pembangunan proyek menegaskan akan membatalkan pelepasan enam lahan miliknya kepada pihak PT PLN Wilayah Maluku-Maluku Utara (Malut).

Pernyataan ini disampaikan Fery Tanaya, dalam keterangan pers kepada sejumlah media, Sabtu , 26 September 2020, di Ambon. Keputusan ini diambil Fery Tanaya, karena merasa diperlakukan tidak adil.

“Tidak akan melepas lagi tanah sebanyak enam titik, yang merupakan hasil ekpslorasi pihak PLN untuk pembangunan PLTMG 10 megawat di pulau Buru, karena saya merasa diperlakukan tidak adil atas penjualan sebidang tanah sebelumnya,”ungkap pengusaha yang status tersangkanya baru saja digugurkan oleh hakim praperadilan Pengadilan Negeri Ambon, belum lama ini.

Fery Tanaya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kejati Maluku dalan kasus penjualan tanah negara untuk pembangunan PLTMG Namlea, Kabupaten Pulau Buru. Lewat tim kuasa hukumnya, Herman Koedoeboen, Firel Sahetapy dan Hendrik Lusikoy, Fery Tanaya menempuh upaya permohonan hukum praperadilan , dan dikabulkan hakim PN Ambon.

Pengusaha kayu ini mengatakan, tidak bermaksud untuk menghambat proyek pembangunan PLTG di Pulau Buru. Mengingat apa yang dialaminya berupa tindakan penetapan tersangka oleh Kejati Maluku, Tanaya menyatakan memutuskan untuk membatalkan semua perjanjian penjualan lahan dan meminta perlindungan hukum dari Presiden Jokowi. Tanaya juga meminta maaf atas sikapnya, karena dapat mengganggu penyelesaian pelaksanaan pembangunan PLTG.

“Saya minta maaf kepada masyarakat Pulau Buru, atas sikap saya ini dapat ,mengganggu penyelesaian pelaksanaan pembangunan PLTG, untuk kepentingan masyarakat Buru dan Bursel. Ini juga sesuai arahan presiden pada rakor nasional dengan Forkompimda dihadiri Jaksa Agung, Menteri dan aparat penegak hukum dari seluruh Indonesia pada 13 November 2019. Bukan saya mau menghambat, tapi karena tidak ada kepastian, jadi saya sekali lagi minta maaf ke masyarakat,”ucapnya yang didampingi Herman Kodoeboen dan Hendry Lusikooy itu.

Fery Tanaya membeberkan , PLN sebelumnya sudah memploting enam titik lahan milknya, untuk membangun gardu mini.

Secara lisan, dia sudah memberikan persetujuan. Namun dengan adanya penetapan tersangka terhadap dirinya dalam kasus dugaan markup pengadaan lahan proyek PLTG, dia memutuskan untuk tidak melpaskan lahan milknya sesuai kesepakatan lisan yang sudah pernah terjadi.

“Tadinya sudah ploting dan harganya sesuai standar 125 ribu/meter, dan saya sudah Ok, tapi dengan adanya kasus ini, saya tidak akan melepaskan tanah yang lain,”tukasnya.

Salah satu tim Kuasa hukumnya, Herman Koedoeboen menjelaskan, rapat koordinasi Presiden dengan Forkompimda yang dihadiri Jaksa Agung, menteri dan penegak hukum dari seluruh Indonesia, adalah untuk mendukung pembangunan agar berjalan dengan sukses.

Pelepasan lahan untuk kepentingan umum, lanjut mantan Wakajati Maluku ini, juga harus termasuk tanaman yang berada diatas lahan tersebut. Ganti rugi bukan hanya berorientasi pada hak milik saja, namun bagi pemegang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan hak guna lahan juga wajib mendapat ganti rugi, sesuai UU Nomor 2 tahun 2012, tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

“Itu jelas, tapi kita tidak masuk ke materi perkara. Apalagi filosofi dalam UU itu adalah untuk ganti untung, bukan ganti rugi. Makaxnya saya tanyakan kepada ahli, bagaimana komponen – komponen perhitungan kerugian negara. Ada aspek fisik, non fisikdan nilai perekonomian.
Diatas tanah ada kelapa, harus ikut dihitung. Tapi anehnya, untuk tanah lain dihitung, sedangkan milik pak Fery tidak dihitung. Totalitas tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya, adalah 125 ribu/meter,”pungkasnya. (S-07)