AMBON, SPEKTRUM – Pemerintah Kota Ambon, bisa digugat masyarakat, bila lalai mengeluarkan peraturan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Mereka juga bisa dikatakan lalai melindung rakyat dari ancaman Covid-19.
Pendapat ini disampaikan pengamat Hukum Tata Negara, Fachri Bachmid kepada Spektrum, Selasa, (16/06/2020). Gugurnya Perwali 16, disebabkan Pemerintah Pusat melalui Menteri Kesehatan RI telah menetapkan dan memberlakukan PSBB di Kota Ambon.
“Sehingga rujukan hukum yang dipakai adalah “Beleeid” Menteri Kesehatan yang secara legalistik mulai berlaku sejak tanggal 9 Juni 2020 lalu. Artinya segala pranata hukum yang akan dan hendak dibangun adalah dalam konteks “Legal Terms adalah pelaksanaan
PSBB, bukan Pembatasan yang lain yang tidak sejalan dengan kaidah normatif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang kekarantinaan kesehatan,” kata dia.
Mestinya Perwali 16, kata dia, sudah dan wajib dicabut pada 9 Juni 2020. Aturan itu telah kehilangan daya berlaku dan daya ikat kepada publik. Terbitnya SK Menkes terkait pemberlakuan PSBB, harus dilakukan Walikota Ambon dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Ini, kata dia, sejalan dan sesuai dengan ketentuan pasal 12 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), rumusan norma ketentuan pasal 12.
“Aturan ini mengatur “Dalam hal pembatasan sosial berskala besar telah ditetapkan oleh Menteri, Pemerintah daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Termasuk secara konsisten mendorong dan mensosialisasikan pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat,” kata Fachri mengutip isi SK Menkes.
Menurut dia, sesuai ketentuan pasal 8 Permenkes No. 9/2020, Menteri menetapkan PSBB untuk wilayah Provinsi/kabupaten/kota tertentu dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak diterimanya permohonan penetapan.
“Jadi semua prosudur ini harus dilihat dan dimaknai dalam konteks keadaan kedaruratan sebagaimana diatur dalam UU RI No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang sifatnya segera, politik hukumnya mengandung sifat dan karakter kesegeraan serta kemendesakan,” tandas Fachri.
Karena itu, kata dia, jangan dimaknai seperti prosedur pembentukan perundang-undangan yang normal tanpa batas waktu. Dalam pembentukan peraturan perundang undangan semacam ini, tentunya tetap perbedoman pada UU RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Tetapi sifat keadaan objektif yang menyangkut dengan keadaan kedaruratan. Jadi pola dan mekanisme pembahasan tidak boleh menggunakan metode pembentukan yang konvensional yang memakan waktu yang lama dan berbelit,” ketusnya.
Pemkot, saran dia, harus punya tim ahli perundang-undangan yang memadai, dan bekerja dalam irama keadaan mendesak/darurat seperti ini. Jika dilihat secara normatif, dalam SK Menkes tentang PSBB Kota Ambon disebutkan secara jelas dalam diktum kelima bahwa Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
“Walikota wajib bersikap responsif atas kebijakan hukum yang semestinya dilakukan sesuai kaidah serta prinsip otonomi daerah. Dan ketika SK Menteri terkait PSBB telah dikeluarkan maka semua kebijakan “beleeid” Walikota/Daerah yang sudah dikeluarkan sebelumnya dihentikan dan disesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat,” jelasnya.
Pemkot Ambon, kata dia, sebagai subjek hukum berpotensi digugat di pengadilan oleh warga negara atas dasar Hak Atas Kesehatan “Human Right to Health” yang telah dijamin dalam konstitusi.
“Karena dikualifisir abai/lalai dalam melaksanakan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi warga negara, karena itu merupakan sarana perlawanan, secara konstitusional yang dapat dilakukan oleh warga negara. Jadi harus hati-hati dan bijak dalam mengelola pemerintahan,” tegas Fachri. (TIM)