Wujudkan Pilkada Berkualitas

Di Indonesia ide untuk membentuk sistem pemerintahan yang demokratis telah ada sejak berdirinya Republik Indonesia. Para founding father tersebut kemudian menuangkan ide mengenai demokrasi itu ke dalam ideologi dan konstitusi Indonesia, dasar-dasar mengenai demokrasi sudah tertuang ke dalam tiap-tiap sila dalam pancasila dan kemudian ditegaskan dalam  pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 sebagai landasan bernegara Republik Indonesia.

Ivonne Weflaar

Demokrasi sudah menjadi hal yang mainstream di berbagai negara di dunia. Bahkan dunia telah bersepakat, sistem pemerintahan yang baik adalah demokrasi. Banyak negara-negara yang dalam perjalanannya melakukan proses demokratisasi di bidang pemerintahan maupun di kehidupan sosial dan politiknya.

Proses Demokratisasi juga dijadikan sebagai tolak ukur, apakah negara tersebut demokrasi atau tidak. Meskipun dapat dikatakan pemahaman mengenai demokrasi dan proses demokratisasi di tiap negara juga berbeda, hal itu juga terkait dengan struktur ekonomi, sosial, dan budaya pada tiap-tiap negara.

Perjalanan menuju demokratis tidak semudah membalikkan telapak tangan. Proses demokratisasi berlangsung di Indonesia dilalui dengan penuh perjuangan dan merupakan perjalanan waktu yang cukup panjang. Dalam perjalanannya kata “Demokrasi” memang dipakai sebagai legitimasi dalam menjalankan pemerintahan, namun ada saatnya dimana substansi dari berdemokrasi itu tidak dijalankan.

Demokrasi hanya menjadi sebuah kemasan dari pemerintahan yang dapat dikatakan otoriter, seperti yang tejadi pada waktu “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Kemudian ide mengenai berdemokrasi kembali muncul setelah jatuhnya rezim orde baru.

Perbedaan dukungan kerap menyulut gesekan antar masyarakat yang sementara berada dalam udara persta demokrasi misalnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Proses pilkada secara langsung oleh masyarakat bertujuan memilih pemimpinnya di daerah mulai level provinsi hingga kabupaten dan kota.

Sebanyak 270 daerah di Indonesia termasuk 4 kabupaten di Provinsi Maluku akan menyelenggarakan Pilkada Serentak September 2020. Dari 270 daerah tersebut, masing-masing 9 pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, 224 pemilihan Bupati-Wakil Bupati, dan 37 Pemilihan wali Kota-Wakil wali Kota.

Hal yang perlu diperhatikan dalam proses Pikada serentak 2020 khsuusnya di SBT, Aru, MBD dan Bursel adalah praktek permainan uang (money politic) dan lain-lain dimana sifatnya hanya mencederai nilai nilai demokrasi. Langkah antisipasi harus dilakuan piak berkompeten sejak tahapan pilkada itu berlangsung.

Kesadaran antipolitik uang, para pihak terkait wajib memiliki kesamaan pandangan untuk menolak politik uang agar melahirkan pemilihan yang jujur. bila pemilihan terpercaya akan mampu melahirkan pemimpin yang amanah sehingga terwujud pemerintahan yang baik, yang dipercaya oleh rakyat. Selebihnya yang terpilih dapat berkontribusi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih serta jauh dari praktek korupsi.

Penyelenggara KPU dan Bawaslu dituntut menjaklankan tugas secara baik. Berkaca dari beberapa pengalaman, dimana kecurangan pernah terjadi pilkada sebelum-sebelumnya. Untuk itu menuju pilkada 2020, penyelenggara KPU dan Bawaslu harus abisa amengantisipasi potensi kecurangan tersebut. smangat iotu tak lain untuk mewujdukan Pilkada berkualitas.

Money politic (politik uang), merupakan praktek sogok yang substansinya si penerima agar memilih kandidat tertentu. Dapat disebut pula dengan istilah politik transaksional. Pemilih menggunakan hak pilihnya tidak sesuai dengan hati nurani, akal sehat dan ijtihad dari dalam diri. Sebaliknya, memilih karena sudah menerima materi berupa uang dan lain-lain.

Jika praktik ini dibiarkan terus berlangsung di Pilkada 2020, hal itu telah melukai demokrasi. Integritas Pilkada pun akan terus merosot. Cita-cita Pilkada yang berintegritas dan berkualitas juga akan jauh dari harapan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur perihal money politic. Pasal 73 ayat (1) menyebut, Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih. Ada dua sanksi yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran pasal ini yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana.

Berdasarkan putusan Bawaslu jika terbukti melanggar Pasal 73 ayat (1) maka dikenai sanksi administrasi. Yaitu, pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi. Bilamana terbukti melanggar Pasal 73 ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka dikenai sanksi pidana. Pasal 187A, B, C dan D, menyebut sanksi pidana penjara paling lama 72 bulan dan denda mencapai Rp 1 Milyar.

Khusus dalam Pilkada Seram Bagian Timur, Kepulauan Aru, Maluku Barat Daya dan Buru Selatan, semua pihak utamanya peserta pilkada beserta tim sukses dan seluruh pendukungnya, tidak melakukan berbagai kecurangan dimana hanya mencederai nilai nilai demokrasi. Etika politik harus di kedepankan.

Parpol selaku pihak yang berkepentingan langsung dengan hajatan ini, harus memberikan pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat. Sangat disayangkan bila suksesi lima tahunan ini, harus ditaburi dengan politik intrik hingga membelah kerukunan antar masyarakat.

Semoga Pilkada 2020 di SBT, Aru, MBD dan Bursel, melahirkan pemimpin yang bisa menjawab keresahan keresahan masyarakat. Agar Pilkada kali ini akhirnya sukses dan berkualitas, tentunya seluruh pihak harus turut mengawasi prosesya. (*)