27.2 C
Ambon City
Selasa, 8 Oktober 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sengketa Laut China Selatan dan Pangan Lokal

Tentu, kita tidak mengharapkan akan terjadi konflik dalam ekskalasi tinggi di Luat China Selatan, tetapi apapun sangat mungkin terjadi jika berkaitan dengan kepentingan sebuah negara. Hal seperti ini yang harus dicermati serius dan cermat untuk mengantisipasi kebutuhan pangan sendiri.
Pengalaman masa pandemi Covid-19 ini memberikan satu kesadaran, kalau dalam situasi tidak normal, setiap negara akan enggan untuk menjual persediaan pangan.

Jangan sampai ketika dihadapkan dengan situasi seperti ini baru gagap dan tergopoh untuk mencari jalan keluar pemenuhan pangan, karena hal itu bisa saja terlambat. Pandemi covid-19 memberikan satu kesadaran kalau ungkapan tua, “sedia payung sebelum hujan” masih tetap relevan untuk merealisasikan kedaulatan pangan.

Suka atau tidak, kalau ekskalasi di Laut China Selatan kian memanas dan menuju ke konflik bersenjata, maka hampir pasti pengaruh konflik itu akan merembet sampai ke kawasan timur. Sejarah membuktikan kawasan ini menjadi pusat pertempuran dalam PD II, karena strategis sebagai pijakan untuk melakukan serangan militer.

Sebab, ada sekitar 1700 pulau besar dan kecil dari luas 705.645 kilometer persegi Provinsi Maluku dan Papua memiliki titik geostrategis di Asia Pasifik. Maluku dan Papua adalah ruang terdepan Indonesia terhadap klaim tumpang-tindih dari enam negara terhadap Laut Tiongkok Selatan di Asia Pasifik.

Rusia dan AS merasa berhak untuk ikut-campur di zona ini. Maluku dan Papua menentukan derajat ketahanan nasional negara RI. Kepulauan Sunda Besar dan Sunda Kecil adalah arteri (archipelagic zone). Dengan mengontrol arteri ini, dapat mengontrol archipelagic zone RI.

Namun, meski menunjukkan tensi tinggi, kita berharap sengketa Laut China Selatan tidak melahirkan perang, karena semua itu akan berdampak kepada pihak yang tidak sebenarnya tidak tahu menahu dan tidak berkepentingan secara langsung.
Posisi Indonesia, sebenarnya sama sekali tidak bebas dari konflik Laut China Selatan, masih jelas teringat pada Januari 2020, Presiden Joko Widodo harus berangkat ke Natuna menyusul insiden pengusiran nelayan oleh kapal patroli China di perairan Natuna Utara.

Pada masa Rizal Ramli menjadi Menko Kemaritiman menggagas untuk mengubah nama menjadi Laut Natuna Utara, untuk wilayah laut yang beririsan dengan Laut China Selatan. Jadi, Untuk itu tidak heran ketika kapal China mengusir nelayan Indonesia menjadi persoalan yang sensitif bagi Indonesia. Bukan mustahil, insiden ini merupakan pesan kalau Laut Natuna Utara belum sepenuhnya aman dari incaran negara lain.

Berita Terkait

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles