29.1 C
Ambon City
Senin, 16 September 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sengketa Laut China Selatan dan Pangan Lokal

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Perhatian dunia yang fokus pada penanganan pandemi Covid-19 ternyata tidak mampu meredakan ketegangan di Laut China Selatan (South China Sea). Pandemi Covid-19 memancing perang pernyataan antara Amerika dan China.

Amerika dan China seolah melanjutkan perang dagang dalam penanganan pandemi Covid-19. Sejak memasuki tahun 2020, ada sejumlah insiden yang membuat ketegangan di Laut China Selatan dan sekitarnya.

Pada 28 Mei 2020, saluran berita CNN menyatakan, Angkatan Laut AS sekali lagi berlayar dengan kapal The Arleigh Burke, yang dipandu Kapal perusak rudal USS Mustin di dekat Kepulauan Paracel. Juru Bicara Armada ke-7 AL AS, Anthony Junco, menyatakan, pada 28 Mei 2020, USS Mustin (DDG 89) menegaskan hak navigasi dan kebebasan di Kepulauan Paracel, konsisten dengan hukum internasional.

Dengan melakukan operasi ini, Amerika Serikat mendemonstrasikan bahwa perairan ini berada di luar apa yang Tiongkok dapat klaim secara hukum sebagai laut teritorialnya.

Sebelumnya, Kapal Perang AL AS juga telah berlayar di dekat Pulau Paracel dan Spratly di Laut China Selatan pada April dan Maret 2020. Situasi ini menambah ketegangan di Luat China Selatan yang menghangat sejak beberapa waktu terakhir ini. Tapi, langkah yang dipertunjukkan AS tidak bisa diremehkan, karena AS sangat siap sejak jauh hari karena pangkalan militer AS tersebar di sejumlah negara, seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Guam, dan di berbagai negara.

Pangkalan Militer AS di Subic Bay (Filipina) berada di posisi yang strategis karena langsung mengarah ke Laut China Selatan. Meskipun perjanjin Visiting Forces Agreement (VFA) yang diteken pada 1998 akan berakhir pada Agustus 2020. Tetapi kelihatannya kerjasama itu bakal berlanjut, meski Presiden Duterte sering ‘melirik’ ke China.

Klaim terhadap Laut China Selatan masih tetap melibatkan sejumlah negara, China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunai. Sementara posisi Amerika dianggap membantu lawan China, tapi sesungguhnya berada pada kebijakan kebebasan navigasi atau freedom of navigation (FON) dan tidak megakui klaim nine dash line China di Laut China Selatan.

Sengketa di Laut China Selatan ini sangat kompleks, karena klaim yang saling tumpang tindih antara satu negara dengan negara lain. Misalnya, China mengklaim sebagai wilayah tangkapan tradisional dengan menggunakan klaim nine dash line atau sembilan garis putus, sementara negara lain menggunakan klaim wilayah teritorial, termasuk wilayah Zona Economic Exclusive (ZEE) sejauh 200 mil laut.

Berita Terkait

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles