TERKENA DAMPAK
Posisi Indonesia, sebenarnya sama sekali tidak bebas dari konflik Laut China Selatan, masih jelas teringat pada Januari 2020, Presiden Joko Widodo harus berangkat ke Natuna menyusul insiden pengusiran nelayan oleh kapal patroli China di perairan Natuna Utara.
Pada masa Rizal Ramli menjadi Menko Kemaritiman menggagas untuk mengubah nama menjadi Laut Natuna Utara, untuk wilayah laut yang beririsan dengan Laut China Selatan. Jadi, Untuk itu tidak heran ketika kapal China mengusir nelayan Indonesia menjadi persoalan yang sensitif bagi Indonesia. Bukan mustahil, insiden ini merupakan pesan kalau Laut Natuna Utara belum sepenuhnya aman dari incaran negara lain.
Kalau melihat pernyataan resmi dari pemerintah China melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang’s dalam konferensi pers regular pada 31 Desember 2019, sangat jelas, menyatakan, “China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha dan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha. Sementara itu, Tiongkok memiliki hak historis di Laut Cina Selatan.
Nelayan Tiongkok telah lama terlibat dalam kegiatan perikanan di perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha, yang selama ini sah dan sah. Penjaga Pantai Tiongkok melakukan tugasnya dengan melakukan patroli rutin untuk menjaga ketertiban laut dan melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat China yang sah di perairan yang relevan”.
Meski begitu, Geng Shuang’s menyatakan China tetap konsisten berpihak kepada Indonesia dan Tiongkok akan mengelola perselisihan dengan baik melalui dialog bilateral, dan untuk menjaga kerja sama yang bersahabat serta perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan.
Sikap China ini tidak bisa disepelekan karena hanya persoalan waktu akan selalu memunculkan insiden, jika hal seperti ini dianggap sebagai hal yang biasa. Namun, Indonesia merespon dengan tegas karena Presiden dan rombongan memantau langsung situasi di Natuna untuk menunjukkan kepada negara lain, kalau insiden itu mengganggu teritori Indonesia.
Dalam menyikapi situasi di Laut China Selatan ini, Indonesia sesuai prinsip bebas dan aktif mengambil jalan tengah sebagai penengah untuk melakukan dialog damai. Tapi, kalau konflik benar-benar terjadi, bisa saja akan melahirkan beragam komplikasi yang mungkin saja tidak bisa selamanya berada di jalan tengah. Setidaknya, di tataran kelompok masyarakat akan melahirkan beragam aspirasi.
Perkembangan di Laut China Selatan dan sekitarnya sebenarnya menunjukkan kalau wilayah itu sangat strategis sebagai jalur pelayaran, potensi sumber daya alam laut dan bawah laut. Tetapi, ada yang sering terlewatkan, sebenarnya selain perebutan sumber energi juga perebutan sumber pangan laut, karena di satu sisi kebutuhan pangan kian meningkat, sementara tidak ada penambahan wilayah yang menghasilkan pangan laut.
Jadi, tidak mengherankan wilayah Kepulauan Indonesia, terutama daerah-daerah dengan wilayah laut yang luas, seperti Maluku, Riau dan NTT akan selalu menjadi incaran untuk memenuhi pasokan pangan laut.