AMBON, SPEKTRUM – Kelihatanya, Ferry Tanaya tidak puas dengan langkah penyidik Kejaksaan Tingg (kejati) Maluku yang kembali menetapkannya sebagai tersangka dalam dugaan korupsi penjualan lahan negara untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Namlea, Kabupaten Pulau Buru tahun 2015. Ia menyerang lembaga yang dipimpin Rorogo Zega itu habis-habisan.
Diketahui, sejak 27 Januari 2021 Ferry Tanaya ditetapkan sebagai tersangka, dua hari sebelumnya atau 25 Januari 2021 cukong tanah di Pulau Buru itu menggugat perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri (PN) Namlea, dengan memposisikan Kejati Maluku sebagai Tergugat II dan BPN Namlea sebagai tergugat I. Objek sengketa itu berkaitan dengan prodak lahan seluas 4,8 hektar di Pulau Buru yang dikleim Kejati Maluku sebagai tanah Negara.
Ferry mengkleim lahan seluas tersebut adalah miliknya. Keras kepalanya pria itu akhirnya dijadikan tersangka oleh penyidik berdasarkan alat bukti lainnya. Kerugian yang dilakukan atas penjualan lahan kepada PLN diduga senilai Rp.6,1 miliar.
Status tersangka Ferry ini membutanya geram. Ia pun, selaain menggugat PMH terhadap Kejati Maluku dan BPN, pihaknya juga telah melaporkan kerja penyidik ke Kejaksaan Agung (Kejagung) RI. Puncaknya, untuk menghapus status tersangkanya itu, Ferry Tanaya kembali menempuh jalur upaya hukum praperadilan di Pengadilan Tipikor Ambon, sejak 9 Februari 2021.
“Besok pagi (Selasa) tepat pukul 09:00 WIT sidang praperadilan dimulai. Kami daaftar Praperadilan sejak 9 Februari kemarin,” ungkap pengacara Ferry Tanaya, Henri Lusikooy kepada media ini, Senin 15 Februari 2021.
Ia menjelaskan, upaya praperadilan yang dilakukannya kembali tentu berkaitan dengan status tersangka yang di sangkahkan penyidik kepada Ferry Tanaya. Dimana, ada hal-hal yang menurutnya menjadi senjata bagi mereka untuk menggugurkan status tersangka Ferry, seperti sidang praperdilan sebelumnya yang telah menghapuskan status Ferry Tanaya dari tersangka.
“Jadi, langkah praperadilan ini hampir sama dengan praperadilan sebelumnya. Dimana, dalam pertimbangan putusan praperadilan sebelumnya itu, hakaim dalam amar putusaanya menyatakan penetapan pemohon (Ferry Tanaya) sebagai tersangka menurut Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dalah tidak sah demi hukum. Jadi sama saja, ada juga hal lain yang tentu akana menjadi peluruh bagi kami nantinya,” jelas Henri.
Ketua Yayasa Pos Bantuan Hukum Indonesia (YPBHI) Ambon itu menyarangkan, harusnya kasus ini ditangguhkan lebih awal, dikerankan adanya sengketa kepimilikan atas lahan yang dijadikan objek penyidikan oleh Kejati Maluku sedang berlangsung di PN Namlea.
“Nah, sengketah kepimlikan ini kan sementara bergulir di PN Namlea. saat ini sidang sudah berjalan, kemarin pada sidang awal baik Kejaksaan maupun BPN tidak hadir. Padahal, gugatan ini sangat penting untuk mengetahui apakah tanah ini milik negara atau Ferry Tanaya,” kata Henri, sembari menyebut, “Besok ikut siang praperadilan saja. Pasti menarik nantinya,” tambah dia.
Diketahui, Ferry ditetpkan sebagai tersangka oleh penyidik berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-212/Q.1/Fd.2/01/2021, tanggal 27 Januari 2021. Sementara, Abdul Gafur Laitupa juga ditetapkan tersangka, saat sebelumnya bersama Ferry bebas demi hukum atas kasus tersebut lewat jalur Praperadilan. Abdul Gaafur Laitupa ditetapakan berdasarkan Nomor: B-213/Q.1/Fd.2/01/2021, tanggal 27 Januari 2021.
Sekedar tahu, kasus PLTMG Namlea tahun 2015 ini tengah dalam penyidikan Kejati Maluku. Audit kerugian keuangan Negara oleh BPKP Maluku juga dikantongi dengan nilai kerugian atas kasus tersebut senilai Rp.6 miliar lebih.
Ferry Tanaya digadang orang yang bertanggung jawab atas penjulan lahan negara kepada PLN itu. Awalnya sudah tersangka, namun kembali bebas melalui praperadilan yang diajukan olehnya saat itu, dan hakim Rahmat Selang membebaskannya.
Jaksa tak tinggal diam. Sehari setelah vonis praperadilan itu, mereka menerbitkan SPRINDIK untuk kembali menyeret Ferry Tanaya.
Kepala Kejati Maluku, Rorogo Zega mengatakan, perbuatan pidana Ferry Tanaya dalam kasus penjualan lahan untuk pembangunan PLTMG di Namlea, itu ada. Hanya saja secara formil atau administrasi penyidikannya telah dibatalkan oleh putusan praperadilan.
“Tidak bermasalah, karena perbuatannya itu belum diputuskan pengadilan atau belum dipertimbangkan oleh pengadilan. Yang dipertimbangkan pengadilan adalah penyidikannya. Makanya putusannya membatalkan penetapan tersangka, perbuatan pidananya belum di apa-apain,” jelasnya.
Mantan Kepala Kejari Ambon ini mengungkapkan, Ferry Tanaya tidak memiliki rumah dan tanah di Pulau Buru. Hal ini diketahui setelah Kejati Maluku meminta BPN setempat melakukan tracing terhadap aset Tanaya di Buru.
“Kami sudah minta ke BPN untuk melakukan tracing aset terdakwa di Buru, dan tidak tercatat juga atas nama Ferry Tanaya, tidak ada. Dan sudah ada buktinya di kita. Bahwa Ferry Tanaya tidak punya rumah atau pun tanah di Buru itu,” beber Zega.
Zega mengatakan, transaksi jual beli lahan antara pihak UIP Maluku dengan Ferry Tanaya berakibat Abdul Gafur Laitupa yang saat itu menjabat Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Buru turut ditetapkan sebagai tersangka.
Laitupa yang memuluskan transaksi jual beli itu, sehingga PLN membayar Rp.6,3 miliar kepada Ferry Tanaya.
“Nih, Gafur tidak mengatakan ini ada nomor peta bidangnya dan bisa dibayar, maka dia yang muluskan pembayaran. Bukti hak tanah Fery Tanaya tidak ada,” ujarnya.
Zega menambahkan, pihaknya akan maraton melakukan penyidikan, agar kasus ini kembali dilimpahkan ke pengadilan. “Jadi, kita maraton dan kita lakukan secepatnya. Ferry Tanaya sudah dijadwalkan untuk diperiksa,” tandasnya. (HS-20)