AMBON, SPEKTRUM – Diduga kuat akan ada terjadi pungutan liar. Pasalnya, sebelum pencairan dilakukan, sudah ada strategi disiapkan tim falitator di Negeri Kamarian, Kabupaten Seram bagian barat (SBB). Strategi untuk meraup untung dari penderitaan masyarakat terkena musibah gempa tektonik tahun 2019.
Sebelumnya, masyarakat yang terkena atau mengalami musibah akibat gempa tersebut dalam pertemuan beberapa waktu lalu, diharuskan untuk memberi Rp.50 ribu sebagai uang administrasi tenaga fasilitator.
Kini, setelah ada informasi akan ada pencairan atau pemberian bantuan dari Pusat ke BPBD Provinsi Maluku, masyarakat justru diharuskan membayar Rp.500 ribu. Alasannya biaya administrasi.
Dari informasi yang diperoleh, saat tim fasilitator mengadakan pertemuan dengan masyarakat di Negeri Kamariang. Awalnya berjalan aman dan lancar. Masyarakat yang hadir, adalah korban akibat gempa tektonik.
Masyarakat juga sudah memenuhi persyaratan awal dengan membayar Rp.50 ribu, setelah medengar akan membayar Rp.500 ribu, tiba-tiba suasana menjadi riuh rendah dan gaduh.
“Kita masyarakat yang terkena musibah gempa, baik yang bangunan rusak berat, sedang maupun ringan, semuanya hadir. Awalnya pertemuan lancar-lancar dana aman saja. Kami juga sudah mengumpulkan uang administrasi Rp.50 ribu sebelumnya. Setelah itu, pertemuan tiba-tiba tak terkontrol, lantaran harus dipotong Rp.500 ribu lagi,” jelas salah satu warga saat mengikuti pertemuan kemarin.

Ia tidak mengetahui apa strategi yang dibuat tim fasilitator yang ditugaskan BPBD Daerah Maluku, untuk mendata dan menyelesaikan administrasi warga terkena musibah gempa dimaksud.
“Apalagi strategi yang dilakukan sampai harus memotong Rp.500 ribu per KK dari bantuan yang diberikan kepada korban bencana. Apakah ini yang namanya pungutan liar atau Pungli itukah?” timpal warga lagi.
Sumber Spektrum di Desa Kamariang menjelaskan, saat pendataan korban gempa tahun 2019, fasilitator meminta uang sebesar Rp.50.000 untuk biaya adiministrasi. “Warga yang terkena dampak gempa bumi bersedia mengumpulkan uang tersebut dan diserahkan ke para fasilitator, dengan harapan kerusakan tempat tinggal mereka bisa diganti secepatnya,” kata sumber ini.
Dia mengatakan, kalau seperti itu warga sudah susah terkena bencana malah uang yang mestinya kami terima untuk digunakan membangun rumah dipotong Rp 500.000 per KK, dan masyarakat korban merasa keberatan.
Sumber ini meminta agar Kepala Pelaksana BPBD Maluku segera menindaklanjuti hal ini. Sebab, jika permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut maka sangat menciderai Pemerintah Provinsi Maluku. “Tolong ditindaklanjuti pak gubernur,” katanya singkat.
Ketika hal ini dikonfirmasikan ke Kepala BPBD Maluku, Henry Far-Far yang bersangkutan nampak terkejut. Pasalnya, informasi itu tidak pernah diberi untuk dilakukan di lapangan.
“Ada nomor orang di Kamarian yang bisa dihubungi guna mengetahui kebenarannya,” kata mantan Kepala Biro Hukum Setda Maluku, kepada Spektrum, Senin, (1/2/2021) di Kantor Gubernur Maluku.
Far-Far malah menyeruhkan, kalau tidak pernah ada pemotongan satu rupiah pun, saat bantuan diberikan kepada masyarakat terkena musibah tersebut. Karena itu hak para korban gempa.
“Tidak ada pemotongan ataupun pungutan,” katanya gusar singkat sambil berharap ada nomor kontak yang bisa dihubungi tim falitator di lapangan. (HS-16)