Hak masyarakat adat atas tanah berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria sudah sangat jelas mengaturnya. Kedudukan hak ulayat warga adat mendapat perlindungan serta dihargai oleh negara.
UUD 1945 dan UU Minerba mengamanatkan agar sumber daya alam dikelolah secara profesional demi kesejahteraan masyarakat. Utamanya warga adat selaku pemilik ulayat. Ijin pembukaan perkebunan untuk perusahaan misalnya, harus menghargai hak ulayat warga adat tersebut.
Aneh ketika warga adat memprotes karena hak ulayat mereka diserobot, justru mereka diperlakukan secara tidak wajar. Padahal masyarakat hukum adat notabenenya sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum, karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Masyarakat hukum adat mempunyai hak ulayat sebagai seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya sebagai pendukung utama penghidupan, dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.
Soal sengketa tanah antara masyarakat adat dengan investor dalam pengelolaan lahan atau hutan, kerap menuai masalah serius bahkan tak pelak memicu gesekan di tengah warga. Selaku pemilik ulayat, warga adat sering diperhadapkan dengan pengusaha yang datang dengan mengantongi izin dari instansi pemrintah terkait.
Karena kepentingan bisnis, akhirnya hak ulayat warga adat dimana seyogiyanya harus dilindungi undang-undang, justru sebaliknya tidak dihargai oleh oknum penyelenggara negara di daerah.
Seharusnya instansi berkompeten melakukan survei lebih awal, sebelum memberikan ijin operasi kepada perusahaan atau investor (pebisnis), yang masuk untuk mengeksplorasi dan eksplotasi hutan. Batas tanah atau lahan (hutan) itu, harus didudukan jauh jauh hari sebelum ada aksi di lapangan.
Pemerintah tidak bisa serta merta dengan dalil kepentingan pembangunan daerah dengan memasukan investor, kemudian memancung hak ulayat warga adat. Soal penebangan kayu di hutan wilayah Maluku bukan kasus baru. Aksi pembalakan kayu telah berangsung lama di wilayah provinsi seriu pulau ini.
Kasus terkini yakni pembalakan kayu di hutan Negeri Sabuai Kecamatan Siwalalat Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Penebangan tanpa pengganti, terkesan dibiarkan. Kasus ini meibatkan pihak CV. Sumber Berka Makmur (SBM). Hutan Sabuai dibabat pihak perusahaan, hingga menyita perhatian publik Maluku, kemudan ditindaklanjuti DPRD dan Dinas Kehutanan Provinsi Maluku.
Oknum tertentu seolah leluasa melakukan penebangan, karena ditengarai diberi ijin dari instansi terkait. Padahal, hak ulayat warga adat oleh siapa pun tidak boleh semena-mena merampasnya. Jika tidak ada ijin dari pemilik ulayat, pemerintah dalam hal ini instansi terkait, jangan kemudian seenaknya memasukan perusahaan untuk mengeksplorasia dan ekspoitasi hutan milik warga adat tersebut.
Kasus pembalakan kayu yang dilakukan pihak CV. Sumber Berkat Makmur di hutan Negeri Sabuai Kecamatan Siwalalat Kabupaten SBT, adalah bukti atas longgarnya pengawasan instansi pemerintah terkait.
Pemda Kabupaten Seram Bagian Timur, dan Pemda Provinsi Maluku harus tegas dan pro terhadap warga adat notabenenya pemilk ulayat lahan atau hutan. Hak ulayat warga adat jangan dibiarkan diserobot oknum tertentu, dengan dalil investasi, tetapi justru di lapangan bereksperimen alias bertindak di luar batas batas kewajaran.
Memancung hak ulayat warga adat, dengan sendirinya oknum telah mencederai konstitusi. Sebab konstitusi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jika konstitusi diabaikan, bukankah tindakan yang demikian adalah bagian dari menghina eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Stop memancung hak ulayat warga adat, dengan cara investasi liar. (*)