Kehadiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau Pilkada.
Nampak kran demokrasi terbuka seluas-luasnya untuk masyarakat di daerah. Mereka dapat menentukan pemimpin level provinsi hingga kabupaten dan kota melalui proses politik lima tahunan yakni pilkada langsung. Juni 2005 lalu pilkada mulai diselenggarakan di tanah air. Harapannya dengan Pilkada mampu membawa kesejahteraan dan kebaikan bagi rakyat di daerah dan untuk bangsa.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Berikutnya di 2011, terbit lagi undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Termaktub dalam undang-undang ini, ada istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Melalui UU Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pelaksanaan demokrasi melalui pilkada serentak mestinya mampu memberikan kesempatan yang lebih luas bagi setiap orang. Melalui pemilu, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk mengakses jabatan publik baik sebagai gubernur, bupati maupun wali kota.
Yang menjadi problem hingga sekarang dengan pilkada serentak juga memberikan ruang bagi segelintir orang (kelompok) membangun dinasti politik di daerah. Warna kepemimpinan didominasi keluarga yang intinya sanak saudara.
Kecenderungan, pencalonan kepala daerah diisi oleh kerabat penguasa. Kepala daerah yang sudah menjabat dua periode misalnya, akan menyiapkan juga anak bahkan istri serta sanak saudara untuk menggantikannya.
Bagi sebagian kalangan hal ini wajar saja dengan menyederhanakan maksud konstitusi bahwa semua orang punya hak untuk mencalonkan diri dalam momentum perhelatan politik semisal pilkada. Hasrat mempertahankan kekuasaan, melatari semangat dan niat para pecinta dinasti politik tersebut agar lingkaran kekuasaan terus berada di seputaran keluarga. Etika politik secara tidak langsung telah disampingkan.
Kondisi demikian cukup mengkhawatirkan, bukan hanya karena keluarga ikut menggantikan. Namun ekses negatif dari hasrat berkuasa yang sering menimbulkan persoalan di ruang publik.
Dalil akan berkompetisi secara adil dan terbuka, proses pencalonan hingga pemenangan justru menggunakan beragam cara yang penting keluarga berkuasa. Tak pelak dinasti politik juga melahirkan korupsi yang melibatkan keluarga.
Sebagian kalangan berpendapat untuk membatasi ekses munculnya dinasti politik secara sistematis, tidak hanya dengan memberlakukan pelarangan petahana mencalonkan sanak family di pilkada.
Antara lain, sistem pemilihan mesti didisain agar lebih ramah dan benar benar membuka ruang secara adil bagi siapapun untuk mencalonkan diri. Ambang batas pencalonan tidak lagi relevan untuk terus diberlakukan.
Penegakan hukum terhadap kasus mahar politik dalam pencalonan juga harus menjadi perhatian penegak hukum sehingga biaya politik untuk pencalonan bisa ditekan atau mudah terdeteksi. Pula soal penyimpangan dalam birokrasi dan pengambilan kebijakan yang sering digunakan sebagai ajian pamungkas pemenangan.
Selain itu, untuk menghambat laju dinasti, peran partai politik jauh lebih besar. Bila proses rekrutmen kandidat dilakukan secara terbuka, dengan sistem yang baik tanpa tendensi ekonomi, tentu tidak hanya bisa menghambat laju dinasti politik, tetapi selebihnya bakal menelorkan orang-orang terbaik yang dapat memimpin daerah dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun.
Demokrasi pilkada pada endingnya ada asa (hope), yakni menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk Maluku. Intinya kehadiran pilkada di tanah air untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat, dan sebaliknya bukan alat atau wahana segelintir orang untuk memelihara dinasti politik. (*)