Ka BKSDA Maluku: Laporan Masyarakat Bentuk Mutual Response
AMBON, SPEKTRUM – Pengelolaan satwa liar jenis burung yang dikelola Pusat Rehabilitasi Satwa (PRS) milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku, terletak di Desa Masihulan, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah terlihat tidak beres. Terindikasi dari banyaknya satwa yang mati tak terurus dibandingkan yang dilepasliarkan kembali.
Hal ini diungkapkan pemerhati lingkungan yang juga pegiat pariwisata Maluku, Ceisar Riupassa kepada Spektrum di Ambon, Kamis (21/1/2021).
Menurut pantauannya di lapangan, burung-burung sitaan yang juga merupakan barang bukti dari kepolisian itu hanya diberi makan sekali sehari atau dua hari sekali. Bahkan tidak diberi makan. Kandangnya pun jarang dibersihkan. Kemungkinan karena pekerja pemelihara satwa juga tidak dibayar dengan semestinya. Ketidakberesan ini menurutnya juga bisa disebabkan operasional yang tidak kuat.

“ Karyawannya tidak dibayar dengan benar. Bagaimana mau mengurus dengan benar burung-burung itu? Akhirnya burung-burung itu dicurigai lebih banyak mati daripada dilepasliarkan. BKSDA tidak bisa lepas tangan karena itu kegiatannya mereka. Mereka yang melakukan penyitaan. Menurut beta itu pidana,” ungkapnya.
Ditemui di ruang kerjanya, Kepala BKSDA Maluku, Danny Pattypeilohy kepada Spektrum menyatakan terima kasihnya kepada masyarakat yang memberi laporan. Hal ini menurutnya adaah bentuk mutual response yang baik. Ada kepedulian dari masyarakat terhadap pengelolaan PRS.
Disebutkan, pengelolaan satwa liar ini tidak lagi dikerjakan oleh BKSDA Maluku tetapi dilakukan Konservasi Kakatua Indonesia (KKI) yang mendapatkan dananya. Pihaknya hanya melakukan fungsi monitoring dan evaluasi terhadap apa yang dikerjakan KKI. Fungsi pengendalian. Ia akan segera mengecek kebenaran informasi ini dan mengakui selama masa pandemi memang ada pembatasan bepergian. Komunikasi selama ini hanya melalui laporan yang baru diberikan di akhir Desember 2020.
“ KKI dengan kita ini polanya adalah kerjasama. Sebaiknya ini harus di crosscheck di lokasi. Supaya kita bisa melihat sendiri secara langsung kondisinya seperti apa di lapangan? Saya kira kita nilai secara positif saja bahwa ada respon masyarakat. Perlu peningkatan yang lebih baik tentang keberlanjutannya,” ucapnya.
Menurut Pattypeilohy, perawatan untuk jenis-jenis satwa liar memang perlu penanganan khusus. PKS di Masihulan inipun adalah pusat rehabilitasi khusus. Burung-burung yang dikelola KKI adalah burung paruh bengkok dan burung lainnya yang spesifik.

Di masa pandemi Covid-19, berdasarkan surat Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Nomor 251 yang dikeluarkan Maret 2020 tentang pencegahan pengendalian penyebaran penyakit yang bersifat penyakit infeksi paru dan sonosis, pengelola PRS diwajibkan melakukan upaya, sterilisasi PRS Masihulan dengan desinfektan, pemakaian masker dan sepatu boot, bekerjasama dengan pemerintah negeri Masihulan untuk mencegah agar virus Corona tidak masuk ke desa yang berada di sekitar PRS dan memastikan kembali petugas di Masihulan agar tidak terkontaminasi dengan virus Covid-19 ini.
Laporan per Januari 2020, jumlah satwa yang dilaporkan ada sekitar 88 ekor dan pada Desember 2020, dilaporkan kembali bahwa ada 47 ekor. Sisanya ada yang sakit dan mati disebabkan kondisi alam di Masihulan sendiri yang lembab. Ketahanan tubuh satwa tersebut tidak kuat yang menyebabkan mati da nada juga yang dimangsa oleh ular. Pengawasan di kandang habituasi maupun kandang sosialisasi menurutnya harus lebih ditingkatkan agar satwa tidak sakit dan tidak dimangsa sehingga pada waktunya bisa dilepasliarkan.
“ Jadi ada sekitar 15-20 ekor yang sudah dilepasliarkan di sekitar taman nasional Manusela karena kawasan tersebut merupakan habitat satwa-satwa tersebut. Jadi ini juga menjadi catatan kami. Mungkin pimpinan KKI atau pimpinan LSM-nya bisa kita panggil. Sebelumnya perlu dievaluasi untuk perbaikan ,” bebernya. (S.17).