Pembalakan Liar

Penebangan kayu nekat dilakukan secara illegal. Berbagai problem melatari masalah krusial ini. Trennya perijinan sering dipersoalakan oleh publik.

Zeth Tuhumury

Kasus illegal logging di hutan di wilayah Maluku belum bisa terhindarkan. Oknum tertentu melakukan penebangan bisa saja tak punya ijin lengkap, atau kelaur sari peratuaran dana perundang-undangan berlaku baik mulai kehutanan, pertanian dan lingkungan hidup.

Masalah kini muncul di wilayah Maluku. Kasus penebangan hutan memicu reaksi publik. Khususnya mereka yang memiliki ulayat merasa dikebiri. Soal perizinan instansi pemerintah terkait, sudah sepatrutnya ketat dan tegas dalam menjalankannya. Kawasan hutan di Maluku jangan diserobot seenaknya.

Kasus dugaan tindak pidana kejahatan kehutanan justru bukan hanya melibatkan pengusaha tetapi juga oknum Aparatur Sipil Negara. Jika legalitas penebangan hutan dalam porsi tidak mendapat tempat, sepatutnya di cegah, sebaliknya jangan dibiarkan. Bila kayu ditebang terus menerus, perlu puluhan hingga ratusan tahun untuk mengembalikan kondisi hutan seperti semula. Hutan gundul alias botak, maka kelak bencana pun bisa terjadi.

Banyak pedekatan yang mesti dilihat kaitannya dengan pemanfaatan hutan, yang mana memiliki hubungan dengan keseimbangan alam yakni air, mahkluk hidup khususnya manusia yang bergantung pada alam.

Kasus penebangana kayu di wlayah Maluku diantaranya, hutan Desa Solea Kecamatan Serram Utara Jkabupaten Maluku Tengah, dan hutan Asabuai Kecamatan Siwalalat Kabupaten Seram Bagian Timur.

Kasus Solea diusut Kejaksaan Negeri Maluku Tengah di Masohi, dan hutan Sabuai juga telah dilaporkan ke Ditreskrimsus polda Maluku. Kasus dugaan pembalakan kayui secara liar ini, seharusnya instansi terkait Pemda Provinsi aupun Kabupate dan Kota, patut meningkatkan pengawasan secara ketat.

Misalnya soal perijinan kepada perusahaan, jangan dibiarkan bertindak di luar ketentuan sebenarnya. Hak ulayat warga adat jangan diserobot dengan dalil kepentingan investasi.

Kasus pembabatan hutan secara tidak wajar, merupakan cerminan buruk terhadap instansi pemerintah terkait. Bicara target pencapaian pendapatan daerah, jangan kemudian mengabaikan keseimbangan alam dan hak ulayat warga adat.

Dalam TGHK 1986 memperlihatkan bahwa sebagian besar areal yang diberikan untuk perkebunan masih berstatus hutan (HP dan HPT) dan belum di lepas menjadi kawasan non hutan.

Hal ini menjadi persoalan, sehingga kadang masyarakat harus menjadi korban khususnya warga adat di Pulau Seram. Kepentingan oknum pengusaha dan oknum instansi pemerintah, hak ulayat warga adat disampingkan.

Perizinan perkebunan rakyat seharusnya dimanfaatkan sesuai fungsinya. Kasus pembalakan yang terjadi akhir akhir ini tentunya cukup disayangkan. Ijin diokeluarkan untuk perkebunan tapi dibarengi oknum pengusaha dengan melakukan penebangan kayu diduga di luar ketentuan sebenarnya.

Pemerintah Daerah mulai Provinsi hingga kabupaten dan kota dapat komitmen serta berintegritas yang tinggi dalam menjalankan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya di sektor kehutanan.

Hak ulayat warga harus dilindungi, sebaliknya jangan membela pengusaha tertentu. Semoga kasus pembalakan liar di hutan Solea Kabupaten Maluku Tengah, dan hutan Sabuai di Kabupaten SBT dapat dijadikan cerminan berarti oleh seluruh pemangku kepentingan di negeri ini, agar tidak terulang di tempat ataua daerah lain di Maluku. (*)