SOROT  

Pasien “X” RSKD Butuh Layanan Lanjut

AMBON, SPEKTRUM – Pasien Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) yang tidak ditemukan keluarganya walau sudah dicari atau biasa disebut Pasien “X”, butuh layanan kesehatan lanjutan untuk menjamin pasien tersebut tidak menggelandang di jalanan kembali setelah rumah sakit memberi upaya kuratif.

Hal ini berulang kali disampaikan Direktur RSKD Maluku, David Santoso, di ruang kerjanya, Sabtu (7/11/2020), menanggapi kejadian diamputasinya bagian tubuh pasien “X” yang terlambat ditangani karena kurang pedulinya keluarga dan kendala lainnya.

“Kita ini ibarat bengkel. Memperbaiki bagian yang bermasalah. Selesai, pemiliknya harus ambil. ” tandasnya.

Kentalnya stigma membuat banyak keluarga yang punya anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa memilih untuk “membuang”, pura-pura tidak mengenal dan dibiarkan menggelandang tak terurus dan berakibat ada kejadian fatal sampai tangan luka membusuk dan terpaksa harus diamputasi. Gencarnya media yang memberitakan, kata David akhirnya pasien tertolong. RSKD berinisiatif merawat dan keluarga juga terpaksa peduli.

Ia sangat berharap dinas terkait yang berwenang dalam upaya promotif dan preventif seperti Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kota Ambon berperan besar dalam penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang menggelandang di jalanan.

“Kalau yang di jalan-jalan, bukan tanggung jawab kita. Kita harus minta ijin daerah. Dinas Kesehatan dan Sosial punya tanggungjawab besar. Pasien X ini inisiatif dari teman-teman di rumah sakit. Apalagi sudah masuk di facebook,” ungkapnya.

Senada dengan Direktur RSKD, salah satu aktivis yang peduli isu kesehatan jiwa, Karel Tuhehay mengatakan, penanganan Gelandangan Psikotik tidak boleh hanya menggunakan pendekatan Charity semata namun sudah harus diletakkan kepada pendekatan hak asasi. Ia berharap, pemerintah daerah (Pemda) memberi dukungan nyata sebagai wujud penuntasan amanat Undang-Undang Nomor  18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Undang-Undang Nomor 8 tentang Penyandang Disabilitas.

Karel Tuhehay, Manager Rumah Pembelajaran Kesehatan Jiwa, Yayasan SATUNAMA, Jogja.

“Dari aspek policy, ini akan menjadi tanggung jawab pemerintah. Menuntaskan amanat undang-undang,” ujarnya.

Jika ada organisasi komunitas sosial mendukung dari aspek software-nya, seperti misalnya mengembangkan sistem dan kurikulum untuk membuka Rumah Pembelajaran Kesehatan Jiwa (RPKJ) atau Panti Bina Laras, kata Tuhehay pemda wajib mendukung dari aspek hardware-nya, misalnya dengan bangunan dan pembiayaannya bekerjasama dengan lembaga donor atau menggalang dana Corporate Social Responsibility (CSR)

“Peran pemerintah sesuai undang-undang, harus melakukan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitative. Harus ada pengalokasian dana untuk permasalahan kesehatan jiwa,” tandasnya.

Menurut Manager Rumah Pembelajaran Kesehatan Jiwa dan Disabilitas, Yayasan SATUNAMA Jogjakarta ini, pemda juga perlu bermitra dengan masyarakat pula karena informasi dan keberadaan ODGJ yang menggelandang, justru biasanya berasal dari masyarakat. 

Pemda, lanjut Tuhehay, juga dapat mengembangkan program Desa Siaga Sehat Jiwa melalui pendekatan Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat. (S.17).