Penggunaan atau belanja anggaran khusus perjalanan dinas aparatur sipil negara (ASN) termasuk pejabat negara di daerah, kerap menuai perdebatan. Ada yang sepakat dipangkas, dan sebagian pihak berpendapat selagi tugas (SPPD) itu, akan mendongkrak kepentingan (kebutuhan) daerah dan masyarakat, maka anggarannya tidak perlu dipangkas.
Namun saat implementasi, tak pelak anggaran perjalanan dinas dalam bentuk Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) itu sendiri, mudah mendatangkan masalah, bahkan beresiko dengan hukum. Potensi kebocoran anggaran sering terjadi, akibat penyelewengan alias korupsi dilakoni oknum tertentu.
Problem di Maluku khususnya populer saat ini ada perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) SPPD di lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon tahun anggaran 2011 senilai Rp.6 miliar.
Total anggaran Rp 6 miliar itu, untuk Pemkot Ambon mengelola Rp.4 miliar, dan sisa Rp2 miliar dikelola oleh Sekretariat DPRD Kota Ambon.
Perkara ini sementara diusut Polres Pulau Ambon.
Belanja anggaran SPPD Pemkot Ambon dan Sekretariat DPRD Kota Ambon tahun 2011, terjadi kebocoran anggaran. Motifnya, ada perjalanan dinas tapi fiktif. Modus operandinya ada nama pegawai/pejabat, tetapi tidak melakukan perjalanan dinas.
Ratusan tiket telah disita tim penyidik Unit Tipikor Satreskrim Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, dari beberapa Maskapai Penerbangan (Trevel). Bukti-bukti tersebut sudah dikantongi penyidik. Akibat malpraktek SPPD tahun 2011 lalu, ditaksir negara mengalami kerugian keuangan lebih dari Rp700 juta.
Hasil audit tentang kerugian keuangan negara pun sudah diterima penyidik dari BPKP Maluku. Kini menunggu untuk penetapan tersangka. Siapa duluan? Ini masih menjadi rahasia penyidik Unit Tipkor Satrekrim Polres Pulau Ambon.
Indikasi korupsi diduga melibatkan oknum pejabat Pemerintah Kota Ambon, dan Kesekretariat DPRD Kota Ambon. Anggaran fiktif dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara jelas.
Dalam pengembangan perkara ini, pihak terkait baik di lingkup Pemkot Ambon termasuk Sekretariat DPRD Kota Ambon telah diperiksa.
Diantaranya Wali Kota Ambon, Richard Louhenapessy, Sekretaris Kota Ambon, Anthony Gustav Latuheru, dan istri Walikota Ambon Debby Louhenapessy, serta beberapa anggota DPRD Kota Ambon, masa bakti 2009-2014.
Potensi kebocoran anggaran ditemukan akibat malpraktek dilakukan oknum tertentu. Faktanya, ada pencairan anggaran, tetapi oknum tidak melakukan perjalanan dinas (fiktif).
Pertanggungjawaban tidak jelas yang demikian, sehingga BPKP meneruskan masalah ini ke Polres Pulau Ambon untuk ditangani sesuai ketentuan hukum.
Untuk Pemkot dan Sekretariat DPRD Kota Ambon, patut menjadikan kasus yang sudah terjadi sebagai pelajaran berharga (jangan mengulangi kesalahan yanag sama). Kita idak mengharamkan perjalanan dinas. Tapi, jika ada anggaran untuk perjalanan dinas ASN/Pejabat, sepatutnya dilakukan sesuai peruntukannya, bukan disalahgunakan.
Sebab kegiatan yang tidak matang apalagi sipatnya asal-asalan, tentu menguras anggaran, dan akan mendatangkan masalah. Perkara tipikor SPPD fiktif 2011 yang kini diproses hukum, kiranya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh aparatur Pemkot Ambon, dan Sekretariat DPRD Kota Ambon serta anggota DPRD.
Tentunya kasus di atas, penyidik Unit Tipikor Satreskrim Polres Pulau Ambon punya alasan mendasar untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Harapannnya, penanganan perkara SPPD fiktif Pemkot dan Sekretariat DPRD Kota Ambon hingga bergulir ke meja hijau, penyidik menjerat oknum yang sebenarnya melakukan kejahatan (korupsi), dan bukan sebaliknya mengorbankan orang lain. Semoga…!! (*)