28.8 C
Ambon City
Senin, 4 November 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Huru Hara di Partai Golkar Maluku

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Dalam proses politik lima tahunan, ada aturan main. Politik yang sehat pastinya mengedepankan etika.’

Rahmawaty Thenu

Huru hara kini melanda partai Golongan Karya Maluku. Imbasnya sampai kepada proses pergantian posisi Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku yang dijabat Richard Rahakbauw (RR). Seteruan antar kader dan pengurus internal DPD I Partai Golkar Maluku tak bisa dibendung menyusul pergantian RR. Ada yang pro dan kontra.

Banyaknya faksi di tubuh partai berlambang pohong beringin itu disebut-sebut sebagai pemantik konflik antar sesama kader dan pengurus, hingga pergantian RR.

Isu merebak ikhwal Richard Rahakbauw diganti dari job pimpinan DPRD Maluku, karena akumulasi dari dua hajatan politik, dimana partai yang pernah berkuasa 32 tahun di era orde baru itu menelan kekalahan beruntun.
Pertama Pilkada Gubernur – Wakil Gubernur Maluku tahun 2018, yang mana kandidat partai Golkar yakni Said Assagaff – Andreas Rentanubun kalah tarung dari Murad Ismail-Baranbas Orno. Kedua, perolehan suara dalam Pemilu legisltaif tahun 2019, partai Golkar juga kalah dari rival abadinya yakni PDI-P.

Kabarnya dua hajatan tersebut dijadikan bahan evaluasi oleh sebagian faksi Golkar Maluku dan DPP Partai Golkar di Jakarta, sehingga memutuskan menggantikan RR dari kursi Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku periode 2019-2024.

Demokrasi sesungguhnya tidak lagi menginginkan adanya oligarki dan status quo. Sebab oligarki dan status quo kehadirannya tidak menyejahterakan masyarakat. Karena eksistensinya, sekadar ingin berkuasa.
Di tengah-tengah sistem demokrasi yang sementara dianut bangsa ini.

Sebab keberadaan status quo dan oligarki sesungguhnya tidak menginginkan suatu keadaan berubah. Sebaliknya hanya orang tertentu saja yang menikmati kekuasaan. Intinya, oligarki dan satatus quo bagian dari dinasti politik, hanya mempertahankan kekuasaan.

Sementara demokrasi di Indonesia jujur saja masih tersandera bangunan politik dinasti politik yang diperagakan segelintir elite. Mereka yang membangun dinasti politik itu sendiri, tak lain memiliki kapasitas penting di tubuh birokrasi maupun parlemen.

Politik kekerabatan adalah gejala penyelenggaraan pemerintahan di bawah kontrol langsung pimpinan negara atau kepala daerah. Bisa saja anak, isteri dan saudara dari lingkrangan pejabat itu, mendapatkan posisi strategis dalam politik.

Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Untuk itu, memberikan ruang kepada dinasti politik tetap tumbuh, justru kita sendiri telah menyandera tatanan demokrasi yang sementara dianut di Indonesia.

Dinamika politik tidak diharamkan, namun dalam proses politik ada koridor dan etika politik (tidak semestinya menghalalkan semua cara). Keinginan Pancasila dan UUD 1945 yang mencita-citakan rakyat hidup adil dan makmur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 1 dan 2.
Dominasi kepentingan individu dan segelintir orang harus dihindari, sebaliknya kepentingan rakyat diutamakan. Kesadaran politik akan semakin sulit diwujdukan, bila mereka yang punya kepentingan langsung apatis “mengedukasi” rakyat. Ego dipilih hanya karena ingin berkuasa, semestinya dibuang jauh-jauh.

Soal pergantian posisi wakil ketua DPRD Maluku dari Partai Golkar itu, semoga bukan titipan tertentu. Jika sebaliknya ada ‘konspirasi’ maka dikhawatairkan hal itu akan menjadi batu sandunga bagi partai Golkar Maluku selanjutnya. (*)

Berita Terkait

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles