Kondisi politik yang berkembang kekiniaan di Indonesia termasuk Maluku, khsusnya pelaksanaan Pemlihan Kepala Daerah (Pilkada), sangat rentan dengan permainan politik uang (money politic).
Pemilihan gubernur, bupati maupun walikota hingga pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, masih mudah terjadinya politik transaksi.
Sudah menjadi rahasia umum, aliran “uang haram” dalam momentum pilkada masih sulit untuk dihindari.
Bak tradisi, saat seseorang mencalonkan diri menjadi kepala daerah-wakil kepala daerah praktek taransaksi (money politic), juga dilakukan. Bahkan masyarakat (pemilih) ikut diberikan duit. Bentuk transaksi politik dilakoni dengan beragam cara.
Sudah menjadi rahasia umum, bakal calon kepala daerah harus merogoh duit ratusan bahkan miliaran rupiah untuk mengantongi rekomendasi partai politik. Meski begitu elite parpol sering berkilah tak memungut biaya.
Politik transaksi juga diterapkan dengan cara serangan fajar. Warga (pemilih) tentunya menjadi sasaran pembagian duit maupun dalam bentuk barang lainnya. Uang yang dibagikan jumlahnya berkisar 50 ribu, 100 ribu hingga 200 – 300 ribu.
Biaya politik memang besar. Namun patut digaris bawahi, anggaran pelaksanaan pilkada itu sendiri telah diplot oleh negara dan daerah
Penggunaan dana haram dalam pembiayaan aktivitas calon kepala daerah sejak dini sepatutnya diantisipasi agar tidak kembali terjadi saat pelaksanaan pilkada serentak 2020 khususnya di empat kabupaten di Maluku, yakni Seram Bagian Timur, Kepualuan Aru, Buru Selatan dan Maluku Barat Daya.
Pengetatan aturan terhadap dana pilkada harus dilakukan dengan audit sebelum pelaksanaannya. Bahkan sebelum pengumuman oleh KPU, semua pidana pemilu dan pelanggaran administrasi harus sudah diselesaikan.
Ada klasifikasi dana ilegal antara lain adalah dana yang bersumber dari pemerintah (pemerintah daerah), BUMN, BUMD, dan penyumbang yang tak jelas identitasnya bahkan dari luar negeri berpotensi mengalir di Pilkada.
Sudah sepatutnya bagi para pelanggar dihukum sesuai ketentuan yang telah diundangkan. Ironisnya, meski telah jadi polemik publik, tapi kerap saja pengusutan serius terhadap penggunaa dana ilegal tetap saja dibiarkan lolos begitu saja.
Parahnya, masyarakat terkesan diberi pemahaman oleh para pelaku politik khususya di Maluku selama ini, dengan istilah politik itu tidak ada yang gratis. Hemat saya, hal ini adalah celah dimana dengan sendirinya mencederai nilai demokrasi.
Preseden buruk ini, wajib diantisipasi dan dibesla melalui ketentuan UU yang mengaturnya. Bagi para pelanggar patut diberikan sanksi atau dihukum. Sejak pilkada digelar di tanah air termasuk di Maluku, praktek money politik tidak bisa untuk terhindarkan (masih ramai terjadi).
Untuk pelaksana yaitu KPU dan Bawaslu di semua tingkatan (Provinsi/Kabupaten/Kota), wajib memutus kejahatan yang sangat mudah dipraktekan saat pilkada.
Selain itu, partai politik beserta kader sekaligus para kandidat beserta tim sukses, wajib memberikan pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat (pemilh).
Jika kondisi ini tetap dibiarkan otomatis mencederai sistem dan tatanan nilai demokrasi kita. Preseden buruk yang dilakukan elit politik beberapa pengalaman sebelumnya, jangan lagi diterapkan saat pilkada 2020 dan seterusnya.
Aparatur penegak hukum harus menjalankan tugas secara kesesungguhan. Sebab dukungan mayoritas rakyat yang diraih kepala daerah tertentu akan sia-sia, jika harus dicederai dengan politik transaksi.
Ciptakan pilkada berkualitas, agar demokrasi kita lebih dewasa. Semoga..!! (*)