Oleh: Muh Kashai Ramdhani Pelupessy
Akhir-akhir ini kita sudah terlalu banyak bicara tentang politik dan ekonomi. Pembicaraan itu memang penting, karena kita adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, kita tak bisa menyampingkan urusan politik dan ekonomi, apalagi sampai alergi karenanya.
Alergi yang berlebihan terhadap politik misalnya, ini sangat tidak baik. Sebab, kalau kita alergi maka kita tidak akan tahu apa yang terjadi ke depannya. Sebaliknya, ada juga orang yang terlalu candu membicarakan politik. Candu ini pun tidak baik, karena pasti menguras pikiran kita, akhirnya tidak bisa tenang dan damai dengan diri sendiri.
Pembicaraan politik dan ekonomi adalah persoalan di luar diri kita, yang cenderung mempengaruhi perilaku kita. Dalam kajian psikologi, perilaku manusia memang cenderung dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Salah-satu teori yang membicarakannya ialah teori Kurt Lewin.
Kurt Lewin mengulas bahwa perilaku kita disebabkan oleh dua faktor utama yakni lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Misalnya, jika tensi politik yang bersifat negatif (sebagai faktor lingkungan) terlalu mendominasi diri kita, maka perilaku kita cenderung “tidak baik” alih-alih agresif.
Disamping membicarakan faktor di luar diri kita yakni politik dan ekonomi, ada hal lain lagi yang tak kalah menarik untuk dibahas, yakni psikologi cinta. Ini menarik, karena lebih membicarakan ke dalam diri kita sendiri. Disinilah letak keunikan dari manusia, yakni selain perilaku kita dipengaruhi lingkungan, juga perilaku kita dipengaruhi oleh kebebasan diri kita sendiri yakni tentang cinta ini.
Bicara psikologi cinta termasuk salah-satu topik yang jarang dikaji, tapi ia ada dan melekat pada diri kita sendiri. Pembicaraan ini pasti sangat familiar di telinga khalayak muda-mudi. Itulah mengapa artikel ini di tulis, mungkin tujuan terdekatnya ialah untuk mengisi celah kosong dibalik padatnya isu-isu politik yang mengemuka akhir-akhir ini.
Sebelum masuk ke ulasan tentang psikologi cinta, ada satu pertanyaan menarik yakni, apa yang paling di dambakan manusia? Pertanyaan ini pasti mengundang banyak jawaban tergantung skala prioritas yang ingin dicapai oleh setiap manusia.
Ada yang mendambakan kehidupannya sejahtera dan adil. Ada juga yang mendambakan hidupnya agar bisa sukses secara materil. Apakah se-simple itu dambaan manusia? Mendambakan agar hidupnya sukses secara materil? Ada juga pingin hidupnya sukses dalam karir, dan seterusnya, tergantung prioritas masing-masing individu.
Sebetulnya, puncak dari semua yang di dambakan manusia ialah kebahagiaan. Semua pingin bahagia. Sukses secara materil misalnya, ini pasti mengarah pada kebahagiaan. Begitupun dengan mendambakan hidup sejahtera, ini pun juga pasti mengarah keinginan untuk bahagia. Artinya, setiap dari kita pingin bahagia.
Pertanyaannya ialah bagaimana caranya agar kita bisa mencapai kebahagiaan itu sendiri? Tentu, jawabannya ialah ada banyak cara. Ada yang melalui jalur kekayaan (materil), ada juga yang memilih jalur lainnya. Selain itu, ada juga yang paling menarik ialah melalui jalur cinta.
Nah, dalam artikel ini, ulasan cinta tak hanya menyangkut urusan muda-mudi, atau istilah populernya ialah “mabuk cinta muda-mudi”. Namun, dalam artikel ini, ulasan cinta akan dibahas secara lebih luas, tentu masih dalam koridor kajian psikologi.
Salah-satu ilmuwan psikologi yang menaruh aspek cinta dalam kajiannya ialah Abraham Maslow. Teori Maslow lebih dikenal sebagai teori motivasi. Ia membahas tentang teori aktualisasi diri. Dalam teorinya, dijelaskan bahwa setiap individu bisa mencapai puncak aktualisasi diri apabila melalui beberapa tingkatan.
Tingkatan pertama yakni fisiologis, seperti keinginan untuk makan, minum, sex, dan seterusnya. Tingkatan kedua yakni rasa aman, seperti keinginan membangun rumah, dan seterusnya. Tingkatan ketiga ialah kasih sayang (cinta), seperti membangun kelekatan yang baik dengan keluarga, dan seterusnya.
Tingkatan ke empat yakni penghargaan, ialah seseorang ingin dihargai, dihormati, dan seterusnya. Jika dari empat tingkatan itu dilalui individu tanpa kendala apapun, maka individu akan mencapai tingkat terakhir yang disebut Maslow sebagai aktualisasi diri.
Jika kita melihat teori Maslow itu, aspek cinta menjadi titik sentral yang penting sebelum seseorang bisa mencapai taraf aktualisasi diri. Cinta yang dibahasakan pada kesempatan ini ialah cinta yang bisa “berbagi rasa” dengan semuanya, yakni dengan keluarga, lingkungan pekerjaan, dan seterusnya.
Cinta bukan hanya urusan seksual semata. Tapi, bahasan cinta sebetulnya sangat luas. Misalnya, disamping mencintai keluarga, kita juga harus mencintai alam sebagai mahakarya Ilahi, mencintai pekerjaan, mencintai hobi, mencintai yang sedang kita usahakan sekarang ini, dan seterusnya.
Cinta akan membawa kita sampai pada titik kesadaran bahwa kita adalah makhluk “kecil” (mikrokosmos) yang hidup diantara banyak makhluk di alam semesta ini (makrokosmos), sehingga upaya saling menyayangi dan melindungi antar-sesama merupakan sesuatu yang niscaya.
Ketika kita sampai pada titik kesadaran itu, maka kita akan mencapai taraf kebahagiaan. Dalam banyak penelitian psikologi, individu yang bahagia akan dapat menurunkan tingkat kecemasan, depresi, stres, dan aspek-aspek psikologis negatif lainnya. Itulah mengapa meningkatkan rasa cinta itu penting, agar kita bisa bahagia semuanya.
Sekian ulasan artikel singkat ini, demi mengisi celah kosong dibalik padatnya isu-isu politik yang kian mengemuka. Semoga bermanfaat. (*)
/Penulis adalah Dosen Psikologi Program Studi Bimbingan Konseling Islam IAIN Ambon