AMBON, SPEKTRUM – Politik transaksional sulit dihindari dalam momentum pemilu atau pilkada. Mereka yang berkepentingan sering menerapkannya. Etika ditabrak. Tekad mewujdukan Pemilu sehat dan berkualitas masih sesumbar retorika pepesan belaka.

Pengamat Politik Cecep Sopandi mengmeukakaan, poltik transasksional termasuk mahar politik antara partai pengusung dan kandidat kepala daerah-wakil kepala daerah itu tidak dibenarkan.

“Karena menyalahi aturan dan bisa didiskualifikasi. Hal itu diatur dalam UU No. 10 tahun 2016 pasal 71 dan 73 tentang Pilkada. UU itu memuat 3 hal, pertama politik uang, kedua mahar politik dan ketiga mutasi jabatan jika itu petahana,” tegas Cecep Sopandi, saat dimintai pendapatnya oleh Spektrum dari Ambon Rabu (16/9), menyikapi problem politik transaksional dalam pilkada.

Mengingat kontestasi pilkada serentak Desember 2020 dilaksanakan di tengah pandemi, momen ini menghadirkan suasana lebih menantang ketimbang hari-hari di luar pandemi.

“Sebab itu,  semua kandidat harus memiliki ‘sense of crisis’ agar hajatan demokrasi ini berjalan sungguh-sungguh sebagai momentum untuk menghasilkan produk kepemimpinan politik yang betul-betul diharapkan,” ujar Cecep Sopandi, saat dimintai pendapatnya oleh Spektrum dari Ambon Rabu (16/9), menyikapi problem politik transaksional dalam pilkada.

ia menyebut beberapa alasan. Pertama, kampanye politik di tengah pandemi ini harus berisi poin-poin janji politik yang lebih kuat dan meyakinkan demi menjawab kepentingan publik saat ini.

“Salah satu yang sangat diharapkan saat ini adalah jalan keluar dari labirin krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19. Kampanye politik yang paling mampu menjawab kebutuhan riil kondisi ini jauh lebih bisa diterima oleh publik,” kata Cecep.

Kedua, pandemi ini telah melahirkan begitu banyak krisis lain di masyarakat. Secara umum, ada dua krisis besar yakni krisis kesehatan dan ekonomi. Kedua krisis ini melahirkan dampak nyata di masyarakat.

“Semua masyarakat mengalami tikaman nyata dari kedua kondisi krisis ini. Terutama yang bergantung pada pendapatan ekonomi harian, mereka berada dalam situasi yang sangat rentan,” jelasnya.

Salah satu isu penting saat ini tengah jadi perhatian publik adalah soal politisasi bantuan Covid-19. “Seluruh mata LSM politik dan terutama mata oposisi bekerja untuk memelototi seluruh aktivitas politik, terutama petahana dalam rangka menyalurkan bantuan Covid-19,” tandasnya.

Akibat Pandemi, ekonomi masyarakat juga ikut melemah. Itu artinya politik uang menjadi praktik yang lebih rawan terjadi pada Pilkada rasa pademi kali ini.

Dalam kondisi tersebut, di saat masyarakat memerlukan bantuan dan sulitnya keuangan lalu muncul kekuatan baru untuk memberikan uang atau memberikan barang tapi sebagai gantinya mereka diminta untuk mendukung kepentingan politiknya. Sebelum Covid-19 saja politik uang marak terjadi, apalagi saat ini akan sangat potensial terjadi lebih masif.

Jadi, lanjutnya, di era covid ini ada dua kebutuhan bertemu, satu sisi masyarakat membutuhkan uang disisi lain ada kepentingan politik mengintai. Jika keduanya bertemu akan klop jadinya.

“Maka dari itu peran penting sentra gakumdu sangat diperlukan untuk memantau dan menindak lebih serius potensi politik uang tersebut,” timpal Cecep Sopandi.

Ia berharap, paslon kepala daerah-waakil kepala daerah beserta partai pengsung dan pendukung, agar bisa-sama mensukseskan Pilkada dengan aman dan kondusif, dengan tidak melakukan tindakan yang dapat merusak kualitas demokrasi seperti politik uang dan lain sebagainya.

“Selain itu juga mendorong kepada pasangan calon yang akan maju agar menjalankan protokol kesehatan secara ketat dan disiplin,” pungkasnya. (S-14)