AMBON, SPEKTRUM – Prof. DR. Yusthinus Male Ahli Kimia Anorganik pada Fakultas MIPA Universitas Pattimura, mengingatkan pemerintah daerah di Maluku tidak menutup mata terhadap maraknya aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Gunung Botak Kabupaten Buru serta penambangan sinabar di Pulau Seram.
Masifnya penggunaan bahan kimia merkuri dan sianida di Gunung Botak, kata Male, berdampak tidak hanya pada lingkungan, tetapi sektor kesehatan, perikanan, ekonomi, sosial budaya dan lainnya.
Salah satu sektor yang sudah mulai terasa dampaknya yakni sektor perikanan. Dimana sejumlah Negara mulai menolak impor ikan tuna dari Indonesia dengan alasan konsentrasi merkuri pada ikan tuna Indonesia telah melampaui ambang batas aman.
Hal itu diungkapkan Male kepada wartawan usai dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Kimia Anorganik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Pattimura Rabu (07/12/2022).
Male dikukuhkan dalam Rapat Terbuka Luar Biasa Senat Universitas Pattimura yang dipimpin Ketua Senat, Prof. DR. Simon Nirahua.
Menurut Male, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menyebabkan PETI dengan menggunakan merkuri berdampak pada berbagai sektor salah satunya perikanan.
“Sejumlah negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak impor ikan dari Indonesia. Ikan yang dimaksud adalah tuna yang merupakan komoditi utama yang berasal dari perairan Maluku. Konsentrasi merkuri pada ikan-ikan di Maluku telah melampaui ambang batas yang ditetapkan,” ujar Male.
Atas dasar itu ia menghimbau kepada Pemerintah Provinsi Maluku dan kabupaten/kota jangan menutup mata terhadap aktivitas PETI di Maluku.
Selain itu, hasil riset membuktikan bahan baku sianida dan merkuri yakni sinabar yang terdapat di Desa Iha Luhu Seram Bagian Barat (SBB) memiliki kualitas terbaik di dunia.
“Pasokan bahan baku merkuri dan sianida terbesar di dunia juga berasal dari Maluku, dalam setahun 700 ton diimpor ke seluruh dunia. Karena itu jika kedepan jika tidak diantisipasi oleh pemerintah dalam hal pengawasan dan penegakan hukum, bukan tidak mungkin kasus Minamata di Jepang akan dialami masyarakat Maluku khusus di Pulau Buru,” katanya prihatin.
Belajar dari pengalaman kasus Minamata di Jepang lanjut Male, dampaknya akan terasa setelah kurun waktu 10-20 tahun.
“Jadi, kasihan anak-anak cucu kita yang akan merasakan dampak tersebut,” ungkapnya.
Pada orasi ilmiahnya, Male menyoroti tentang “Penataan Wilayah Pertambangan Rakyat untuk Meminimalisir Dampak Negatif PETI di Pulau Buru”.
“Tingginya minat pembeli merkuri dari Indonesia dikarenakan material sinabar dari Gunung Tembaga memiliki kandungan merkuri yang cukup tinggi. Dan, material dari Gunung Tembaga akan terbawa aliran sungai sampai ke laut dan berpotensi mengkontaminasi ekosistem perairan,” katanya.
Hasil analisa kadar merkuri pada sedimen perairan laut di pesisir Teluk Piru menunjukan kadar merkuri cukup tinggi. Ini tentunya, membutuhkan perhatian lebih karena ekosistem Teluk Piru mirip dengan Teluk Kayeli di Pulau Buru yakni kepadatan tumbuhan mangrove sehingga berpotensi terjadinya metabolism sinabar menjadi metal merkuri yang sangat beracun oleh aktivitas mikroba,” bebernya.
Sebagai orang Maluku, Male mengajak semua pihak baik pemerintah maupun swasta untuk memikirkan konsekuensi dampak dari aktivitas PETI yang kian marak di sejumlah wilayah di Maluku.
Sementara itu, Rektor Universitas Pattimura, Prof. Dr. M.J Sapteno dalam sambutannya pada acara pengukuhan tersebut meminta semua stakeholder tidak mengabaikan informasi ilmiah dari perguruan tinggi.
“Jangan diabaikan, sebab berbicara bahan kimia ini mengarah kepada kehidupan berkelanjutan. Olehnya pemerintah daerah harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi dan lainnya guna menghindari dampak negatif bagi masyarakat,” katanya mengingatkan. (HS-16)