AMBON, SPEKTRUM– Mariam Kadir alias Mama Ani dan Edi Maunusu, pasutri yang dituntut masing-masing 15 tahun subsider 6 bulan kurungan dan 14 tahun penjara karena kasus pembunuhan anak angkat, mengajukan keberatan dan meminta dibebaskan dari hukuman.
Dalam sidang yang digelar secara virtual di ruang Sari, Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (8/7/2021) Maria menyampaikan pembelaan pribadi. Demikian juga kuasa hukumnya.
Ia menyebut, penangkapan dirinya yang dijemput 3 orang tim Buser tanpa disertai surat penangkapan maupun penahanan adalah kebiasaan yang salah dan tidak boleh dipertahankan karena jika hal ini tetap dipertahankan, ia menyebut, kebenaran dapat diputar balikkan pula. Seharusnya, pihak kepolisian dalam hal ini Buser penyidik, terlebih dahulu membuat surat penangkapan atau surat panggilan. Jika dirinya tidak mengindahkan panggilan ini, baru tim Buser dapat memjemputnya secara paksa.
Di kantor polisi, ia juga mengungkapkan, telah diperiksa secara intimidatif. Seharusnya, seseorang yang disangka melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam Pasal 80 ayat (3) jo Pasal 76c, UU RI No.35/2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun, sebelum diperiksa, sudah harus menerima perlakukan hukum yang benar, sebagaimana yang tertuang dalam Bab 6 Pasal 5 ayat 1 dan juga KUHAP Pasal 56 ayat 1 yang mengatakan, dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang terancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih, yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, wajib menunjuk penasehat hukum untuk mereka.
Mariam mengutip Pasal 56 ayat 2, yakni setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud ayat 1, memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
“ Karena tidak dilakukannya tata cara pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana telah termuat dalam Pasal tersebut diatas, maka pemeriksaan ini dianggap cacat hukum atau batal demi hukum,” urainya.
Ia menyebut, proses pemeriksaannya dan suami tidak berlandaskan azas pro justitia atau untuk sebuah keadilan. Proses berjalan terus tetapi tidak sesuai peraturan. Ia merasa mendapat tekanan, dipaksa untuk harus mengakui perbuatannya. Padahal ia belum pernah berhadapan dengan masalah hukum.
Ia merasa bingung dan tidak dapat berbuat apa-apa sehingga apa yang diajukan dan diminta pemeriksa, pasti diiyakannya. Seharusnya, kata Mariam, ada reka ulang adegan atau rekonstruksi. Jika belum ada, berkas seharusnya dinyatakan belum lengkap tetapi pemeriksa bersikeras memaksakan.
Mariam mengatakan, keterangan saksi yang dihadirkan yakni Muhamad Al Hamid Uktolseja dan Irawati sebagai ayah kandung dan ibu tiri korban, tidak dapat dijadikan dasar membuktikan karena masih diragukan kebenarannya. Ia menyebut, hubungan korban dengan ibu tirinya juga tidak baik-baik saja. Terbukti ketika diajak ke rumah Hamid dan Irawati, korban enggan keluar dari mobil. Bahkan saksi sampai membujuk korban. (HS-17)