23.8 C
Ambon City
Senin, 9 September 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pakar HTN Minta Pilkada Serentak Indonesia Ditunda

AMBON, SPEKTRUM – Hak warga berdemokrasi mestinya diakomodir. Disepakati melaksanakan tahapan Pilkada, 9 Desembar 2020. Kondisi pandemi Covid-19 di Indonesai belum berakhir, Fahri Bachmid mengemukakan dua hal penting yakni, menjadi tidak urgen dan hak atas kesehatan.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid, SH.MH meminta Pemerintah, DPR dan KPU RI menghentikan dan menunda seluruh tahapan Pilkada Serentak 9 Desember 2020.  Pasalnya tidak tepat dan kondusif, jika gelaran pesta demokrasi lokal itu dipaksakan di tengah pendemi Covid-19. Meskipun PERPPU Pilkada sudah dikeluarkan, harus Pilkada Serentak sebaiknya dilakanakan pada 2021 mendatang.

“Pilkada Serentak 9 Desember 2020 itu ditunda dan dapat dibenarkan secara kontitusi sesuai prinsip Hak Asasi Manusia, sepanjang berkaitan dengan hak atas kesehatan. Sebagaimana diatur dalam ‘Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948, pasal 25 menyatakan, setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan’, dan pengaturan ini sejalan dengan ketentuan pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Secara konstitusional prinsip kesehatan adalah hak asasi warga negara atas kesehatan (Human Right to Health). Dijamin secara tegas dalam konstitusi, dan segala kebijakan negara dalam situasi apapun. Penyelenggara negara mutlak mempedomani sebagai instrumen fundamental yang tidak dapat direduksi atas alasan dan keadaan apapun juga,” jelas Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, Minggu, (31/5/2020).

Hal itu disampaikan Fahri Bachmid saat menjadi narasumber pada diskusi virtual bertajuk “Perpu dan Dampak Penundaan Pilkada Ditengah Covid-19”. Narasumber lain kesempatan itu juga, ada Komisioner KPU-RI, Viryan Azis, Komisioner Bawaslu-RI, Dr. Ratna Dewi Pettalolo, SH.MH, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, Peneliti Kepemiluan, Dr. Ferry D. Liando, S.Ip.M.Si, dan Akademisi UIN Alauddin Makassar, Dr. Syamsuddin Radjab, SH.,H.

Berdasarkan perspektif hukum sesui Perpu Nomor: 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor: 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu Nomor: 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Menurut Fahri Bachmid, dalam penormaan itu ada dua keadaan hukum yang diatur sedemikian rupa dalam Perpu tersebut sesuai ketentuan pasal 201A. Dalam rumusannya pada pasal 201 ayat (6) disebutkan, pemungutan suara serentak ditunda, kerena terjadinya bencana non alam. Sementara rumusan norma pasal 120 ayat (1) menjelaskan, pemungutan suara serentak yang ditunda dilaksanakan pada Desember 2020.

Namun kata Fahri, ada ketentuan selanjutnya merupakan ‘ekseption’ adalah dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat dilaksanakan dan pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 122A.

“Secara yuridis, ini merupakan sarana hukum yang telah didesain sebagai politik hukum dalam PERPPU, untuk mengatasi serta mengantisipasi, jika keadaan pendemi Covid-19 ini tidak berahir. Secara objektif sampai saat ini, Kurva Penularan Covid-19 belum terlalu signifikan untuk dapat dibilang aman, bagi suatu tata kehidupan sosial kemasyarakatan yang sehat dan kondusif, sebagai alasan untuk pelaksanaan Pilkada tahun 2020 ini,” tutur Fahri Bachmid.

Jika Pilkada 9 Desember tetap dipaksakan, Fahri menilai, akan ada potensi resiko cukup tinggi. Keputusan politik tentang Pilkada 9 Desember 2020 ini terlalu berani dan riskan untuk tetap melaksanakan Pilkada 2020, decision-making. Tidak dapat kami memahami ‘rasio legis’-nya dari produk tripartie yang dikeluarkan Pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pemilu tersebut.

Sebab kata dia, secara sekilas kelihatannya konstruksi kesepakatan yang diambil salah satu pijakannya adalah, karena penjelasan disampaikan oleh KPU-RI terkait langkah-langkah kebijakan dan situasi pengendalian yang disampaikan oleh Pemerintah. Termasuk saran, usulan dan dukungan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui surat Ketua Gugus Tugas Nomor: B-196/KAGUGAS/PD.01.02/05/2020 tertanggal 27 Mei 2020.

“Idelanya keputusan itu harus dibangun berdasarkan hasil kajian cermat, hati-hati, dan komprehensif serta memiliki basis analisis keilmuan scientific, yang memadai. Melibatkan berbagai pakar dan ahli ‘ekspert’ virologi yang dapat memastikan tingkat resiko penularan serta persebaran Covid-19 sampai Desember 2020, secara mitigatif, hingga sampai pada kesimpulan,” katanya.

“Jangan sampai Negara dianggap melakukan ‘By Omission/pembiaran’. Dan jika itu terjadi, maka secara hukum sebagai konsekwensi dari sebuah negara demokrasi konstitusional, sangat potensial berbagai keteledoran, akan digugat ke Pengadilan melalui sarana hukum yang tersedia atas produk kebijakan yang dinilai abai terhadap aspek kesehatan masyarakat, ini jangan sampai terjadi,” tandasnya.

Fahri Bachmid menegaskan, tidak boleh ada korban nyawa manusia yang sia-sia, karena terkena Covid-19 dari pemungutan suara serentak itu. Ini menjadi penting dan esensial, agar masyarakat dapat memahami hakikat dari keputusan yang sangat penting dan strategis itu yang telah diambil Pemerintah, DPR dan KPU.

Menurutnya, jangan sampai kesepakatan serta keputusan politik diambil, mengabaikan spirit konstitusi yang pada hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi warga negara, sebagaimana terdapat dalam dokumen prembule/pembukaan UUD NRI Tahun 1945, sebagai staatsfundamental norm.

Yang mengatakan bahwa “….Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, …”.

Hal ini merupakan konsekwensi yuridis dan politik perjanjian luhur berdirinya sebuah bangsa dan NKRI sebagai Organisasi Kekuasaan. Dengan demikian, negara mempunyai  tanggung jawab konstitusional secara absolut untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Gambaran meta-norma pada preambule di atas, sejalan dengan doktrin Cicero Filsuf kebangsaan Italia, telah diterima secara universal, bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara ‘Salus populi suprema lex esto’.

“Pada prinsipnya spirit konstitusional itulah yang harus menjadi guidance dalam merumuskan kebijakan negara sampai pada level yang sektoral sifatnya. Termasuk kebijakan pelaksanaan Pilkada 2020 dengan eksplanasinya,” tukasnya.

Fahri menjelaskan, jika Pilkada ditunda sampai dengan tahun 2021, maka dapat dipastikan tidak ada persoalan serta implikasi yang bersifat ketatanegaraan maupun teknis administrasi dalam urusan penyelengaraan Pemerintahan yang melibatkan 270 daerah itu. Sebab, hal itu berdasarkan instrumen hukum sesuai UU RI Nomor: 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor: 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu Nomor: 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, khususnya ketentuan pasal 201 ayat (10) dan (11).

Pasal 201 ayat (10) dan (11) telah mengatur dengan cukup baik, “Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur berasal dari jabatan Pimpinan Tinggi Madya sampai dengan pelantikan gubernur, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan”,  serta “Untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/walikota, diangkat penjabat bupati/walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan walikota sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.

“Artinya, UU telah menyediakan pranata penyelesaiannya. Jika keadaan habis masa jabatan kepala daerah, dan tidak akan pernah ada kekosongan kekuasaan di daerah,” tandasnya.

Disebutkan, Presiden sebagai Kepala Negara telah diberikan atribusi kekuasaan oleh hukum untuk menyelesaikan permasalahan dan urusan pemerintahan. Sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor: 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan pasal 7 ayat (2). Pasal 7 ayat (2), menjelaskan, bahwa Presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan urusan pelaksanaan Pemerintahan Pusat dan Daerah.

“Maka pelaksanaan Pilkada tahun 2020 di musim pendemi Covid-19 ini, menjadi tidak urgent dan penting. Baiknya konsentrasikan seluruh sumber daya nasional yang ada saat ini untuk menyelesaikan Covid-19, beserta seluruh dampak bawaan lainnya. Pilkada merupakan agenda sekunder yang tidak wajib serta tidak strategis untuk saat ini. Jadi baiknya negara mengambil kebijakan untuk segala agenda dan tahapan Pilkada 2020 di suspend sampai tahun 2021,” timpal Fahri.

Diketahui sebelumnya, Pilkada Serentak diputuskan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Ini merupakan keputusan bersama antara Komisi II DPR dan pemerintah. Keputusan itu diambil dalam Rapat Kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu dan DKPP pada Rabu, 27 Mei 2020 lalu.(TIM)

Berita Terkait

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles