AMBON, SPEKTRUM – Status tersangka yang disematkan penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku, kepada Ferry Tanaya sebelumnya telah digugurkan dalam sidang praperadilan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Ambon, pekan kemarin.
Meski begitu, pihak Kejati Maluku yang bertindak selaku termohon, tak tinggal diam. Pasca vonis Praperadilan Kamis 24 September 2020, kesokannya surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) diterbitkan lembaga adhyaksa itu, untuk penyidikan kembali.
“Ya, sudah di terbitkan (Sprindiknya). Terbit, sehari setelah putusan,” kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Maluku, M Rudi kepada wartawan, Senin (28/09/2020).
Ia menjelaskan, selain Sprindik, surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) juga telah disampaikan ke terlapor. Kabarnya, kasus penjualan tanah negara untuk pembangunan PLTMG Namlea, Kabupaten Pulau Buru itu, Ferry Tanaya diposisikan sebagai terlapor.
Sementara untuk saksi-saksi, kata dia, telah diagendakan termasuk Fery Tanaya, untuk dilakulan proses pemeriksraan kembali ditahap penyidikan. “Saksi-saksi juga sudah di jadwalkan. SPDP sudah disampaikan ke terlapor. Kita proses kembali,” tegas Rudi.
Menyikapi pengusutan lanjutan yang akan dilakukan oleh penyidik, Kuasa Hukum, Herman Koedoeboen mengingatkan, putusan praperadilan hakim bersifat declaratoir dan konstitutif.
“Declaratoir, berarti hanya sebuah declir atas titel, atas sebuah status. Misalnya, menyebutkan penetapan tersangka atas fery Tanaya tidak sah. Tetapi jangan lupa, putusan itu juga mengandung sifat konstitutif, yang memastikan suatu keadaan hukum,”ungkap Herman Koedoboen, didampingi Fery Tanaya dan Hendry Lusikooy kepada media pada Sabtu, 26 September 2020.
Kalau ada tanggapan bahwa putusan ini bersifat administratif, karena didasarkan pada penetapan tersangka dan alat bukti yang tidak sah sehingga dapat ditetapkan kembali, mantan Wakajati Maluku ini meminta untuk berhati-hati.
Meskipun pengusutan perkara merupakan kewenangan dari jaksa, Koedoeboen mengingatkan untuk tidak melupakan sifat konstitutif dari putusan, yang memastikan suatu keadaan hukum, sehingga Clear atau stop.
Menurutnya, amar putusan hakim telah memastikan suatu keadaan hukum, tidak sahnya penetapan Fery Tanaya sebagai tersangka, sesuai pasal 2 dan pasal 3, UU Tipikor.
“Maknanya adalah, meniadakan suatu keadaan hukum, atau menimbulkan suatu keadaan hukum. Dalam putusan Ini adalah meniadakan, sehingga status sudah jelas,”ungkapnya.
Mantan Wakajati Halmahera ini juga menyebutkan, ini adalah sebuah edukasi kepada publik tentang hukum.
“Tidak semua putusan mengandung deklaratoir dan konstitutif. Kalau kondinatoir selalu berhubungan dengan hukuman, yaitu rehabilitasi dan bayar biaya perkara. Jadi ini berkaitan dengan formilnya putusan. Silahkan saja, kalau memang akan kembali mengambil langkah lanjut,”ucapnya.
Meskipun fakta persidangan tidak berkaitan langsung dengan pokok perkara atau objek permohonan, Koedoeboen menilai adanya keterkaitan yang dibawa oleh termohon, melalui saksi ahli maupun saksi fakta.
Dalam keterangan tersebut, saksi ahli menyatakan bahwa menentukan ganti bukan pada komponen-komponen standar, tetapi ganti rugi itu berdasarkan kepemilikan tanah dan tidak berdasarkan dokumen apapun. Anehnya, penetapan Fery Tanaya sebagai tersangka, didasarkan pada pendapat ahli, yang tidak berbicara tentang fakta, namun hanya pada keahlian.
“Lalu bagaimana bisa dijadikan dan disimpulkan bahwa tanah ini bukan milik Fery Tanaya, saya minta baca UU lagi, bagaimana anda katakan ini adalah milik negara. Menurut UU, bukti otentik hanya buku aset, tidak ada yang lain. Itu UU bukan pendapat saya. Jangan membawa hak menguasai negara, menjadi hak milik negara, itu keliru beda bagai bumi dan langit,”tegas Koedoeboen.
Koedoeboen juga mengatakan, momentum ini dipakainya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat Maluku. Dia juga menilai inimerupakan suatu kewajaran, ketika hakim praperadilan dalam pertimbangan putusan menyatakan adanya pertentangan sikap, yang disebutnya sebagai konflik interest.
“Hakim katakan ada pertentangan sikap antara tugas preventif dan tugas represif. Bawa kemanapun, penilaian hukum ini akan tetap mengikuti. Jangan hanya mengatakan, ya kita bikin penyidikan ulang, ya jangan seperti itu, lihat dulu putusannya. Nah itulah inti daripada apa yang ingin kami katakan, kami tidak ingin mengemukakan jauh tentang pendapat ahli. Saya tidak bicara dengan emosi, namun norma dan konsep hukum yang kita bicara. Dalam amar putusan jelas, bahwa penetapan tersangka berdasarkan UU tidak sah. Saya akan tunggu saja,”tukasnya.
Ia mengatakan, praperadilan adalah sebuah mekanisme hukum biasa. Tidak ada dalam paradigma, menang dan kalah. Penggunaan istilah itu, akan menimbulkan sebuah psikologi emosional. Jika emosi dalam tanggapi putusan, akan melahirkan subjektivitas.
“Apabila subjektivitas ini digunakan, akan melahirkan subjektivitas baru, jadi itu tidak memberikan sesuatu yang positif bagi penegakan hukum kita. Itu prinsip yang harus diletakan. Jadi kami hanya memohon, dan permohonan kami dikabulkan, tidak ada menang atau kalah. Isi putusan harus dicermati secara baik, jangan emosional. Prinsipnya, putusan mengandung tiga sifat, deklaratoir, konstitutif, kondenatoir. Sehingga memaknai sebuah putusan harus cermat,” katanya. (S-07)