AMBON, SPEKTRUM – Hutan di Indonesia sesuai data terakhir dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 125 juta hektar (ha).
125 juta ha tersebut terdiri dari hutan konservasi, hutan produksi, hutan konversi dan juga hutan lindung.
“Tentu persoalan besar yang ada di kita sehingga terjadi misalnya pemanasan global berdampak pada perubahan iklim dan artinya kalau kita lihat saat ini terjadi bencana itu sudah digambarkan, misalnya, banjir di mana-mana kekeringan dan krisis ekonomi di sebagian besar dunia,” kata Prof. Agus Kastanya saat menyampaikan materi pada Festival Maluku yang digagas Yayasan Madani Berkelanjutan bekerjasama dengan Green Moluccas, di Ambon, Senin (20/02/2023).
Dikatakan, kerusakan hutan ada dua faktor disebabkan deforestasi dan degradasi.
“Defirestasi atau pengalihan fungsi hutan menjadi lahan lain, sedangkan degradasi yakni menebang hutan sehingga potensi hutan menurun atau berkurang,” kata Kastanya.
Ini lanjutnya, mengakibatkan potensi hutan menjadi menurun atau berkurang sehingga fungsi konservasi, fungsi perlindungan, fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat seluruhnya terganggu.
“Karena itu ancaman-ancaman ini tidak bisa diselesaikan oleh satu negara sekalipun di saat ini karena hampir seluruh negara mengalami pengalihan fungsi hutan. Karena itu negara-negara di seluruh dunia selalu berkumpul untuk membicarakan bagaimana mengendalikan ini semua,” urainya.
Perubahan iklim telah dibicarakan sejak
Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Lingkungan dan Pembangunan atau dalam bahasa Inggrisnya United Nations Conference on Environment and Development (UNCED). Pertemuan ini sering disebut juga KTT Rio de Jeneiro.
KTT bumi diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa pada 3-14 Juni 1992 di Rio de Jeneiro, Brasil. Pertemuan ini digagas untuk menyatukan pandangan tentang pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan. Konferensi diikuti oleh 172 negara dan dihadiri oleh 108 negara dan pemerintah.
Pembicaraan masalah perubahan iklim tetap dibicarakan saat Negoisasi iklim ke 21 (COP 21) dari Konvensi Kerangka Kerja PBB Untuk Perubahan iklim (UNFCCC) yang berlangsung di Paris pada 30 November hingga 13 Desember 2015.
“Pertemuan ini adalah pertemuan bersejarah yang menyepakati kesepakatan yang mengikat (legally binding). Ini adalah kesepakatan yang mengikat pertama sejak Protokol Kyoto yang lahir pada pertemuan COP ke 3. Butir-butir kesepakatan Paris disebut Kesepakatan Paris untuk Perubahan Iklim. Kesepakatan Paris bertujuan untuk menghentikan suhu pemanasan bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius. Dan untuk itu, setiap negara perlu memasukkan komitmen mengenai berapa banyak emisi karbondioksida yang akan dikurangi,” katanya.
Kesepakatan Paris didukung sedikitnya 195 negara termasuk dua negara produsen emisi karbon terbesar dunia yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok.
Seluruh dunia ditekankan untuk harus meningkatkan kontribusi untuk penurunan emisi. Diawali dari 29 persen, kemudian diusulkan menjadi 38,89 persen. Dibantu luar negeri meningkat lagi menjadi 43,20 persen. “Ini bukan perkara yang mudah, kalau bicara presentasi penurunan emisi dan itu berasal dari darurat 55 sektor utama ya memang tentu di sektor-sektor lain sebagai bagian tetapi paling tidak energi yang berasal dari fosil, lalu industri kemudian kehutanan, sampah dan pertanian itu sumber-sumber emisi yang terjadi,” jelasnya.
Jika lanjut Kastanya, semua pihak mau mengendalikannya, berarti sumber-sumber itu yang harus dikendalikan salah satunya hutan. Selain menurunkan emisi, diketahui bahwa karakter isi pulau-pulau kecil dengan gas-gas yang sempit dan pendek. Jika hutan terbuka sedikit saja akan terjadi erosi dan karena gas, pendek dan sempit maka seluruh aktivitas di darat masuk ke laut.
“Itulah yang menyebabkan laut mengalami pencemaran. Dengan pemanasan global, terjadi perubahan temperatur laut dan akan mempengaruhi seluruh biodiversitas yang ada aliran-aliran energi di laut, akibatnya semua terganggu dan yang paling berbahaya untuk kita adalah kenaikan muka lautan,” jelasnya.
Dikatakan, jika dilihat dari bentuk ini, maka telah terjadi abrasi yang cukup besar dan ini terus berjalan.
Jika diperhatikan kondisi hutan Maluku yang berjumlah 3.919.617 ha dari 125 juta ha seluruh Indonesia. Hutan konversi atau hutan yang nanti dimanfaatkan ke bidang-bidang lain tetapi itu dikonversi maka itu yang disebut deforestasi sebesar 1,3 juta.
“Dan ini membuat Maluku bersemangat kalau kita punya kondisi lingkungan pulau-pulau kecil dan tata ruang walaupun separuhnya mau dikonversikan sekitar 500 ribu ha dengan ekosistem pulau-pulau kecil maka Malukj akan hancur,” tegasnya. (*)