Pembayaran Ganti Rugi Lahan RSUD Haulussy dan Dinkes Berpotensi Rugikan Negara
AMBON, SPEKTRUM – Publik di Maluku kini mulai disuguhi sejumlah informasi atas dugaan dari aksi mafia tanah yang mengarah pada indikasi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta rugikan negara, terhadap pembayaran ganti rugi lahan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Haulussy dan lahan lokasi berdirinya Dinas Kesehatan Provinsi Maluku diduga ke pihak yang salah.
Hasil penelusuran media ini, kuat dugaan pembayaran ganti rugi lahan pada dua instansi umum milik Pemerintah Provinsi Maluku pun berdasarkan hasil proses di lembaga peradilan dimulai dari Pengadilan Negeri Ambon hingga Mahkamah Agung.
Menariknya, atas aliran anggaran pembebasan lahan untuk dua instansi pemerintah yang berada di Kota Ambon tersebut sejumlah pihak pun mulai melakukan klaim, bahkan mereka telah menerima pembayaran lahan dari Pemerintah Daerah Maluku.
Halnya pembayaran lahan RSUD dr Haulussy yang berada di Kawasan Kudamati, Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon, pihak Yohanis Tisera diketahui telah menerima anggaran sebesar Rp18 miliar.
Terkait pembayaran lahan RSUD dr Haulssy, Informasi yang berhasil dihimpun media ini kuat mengarah pada dugaan kerugian negara lantaran pembayaran lahan dilakukan berdasarkan putusan yang bersifat declaratoir yang tidak memiliki kekuatan eksekusi.
Sejumlah catatan yang berhasil dikantongi media ini, bahwa persoalan pembayaran lahan RSUD dr Haulussy Ambon bakal berbuntut panjang dan kuat dugaan, Pemerintah Provinsi Maluku telah melakukan pembayaran ganti rugi lahan kepada pihak yang salah.
Atas kondisi ini, Pemerintah Provinsi Maluku diharuskan untuk melakukan kajian aspek hukum berdasarkan sejumlah produk pengadilan dimana putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Bahwa alur kepemilikan atas lahan RSUD Haulussy Ambon, yang berkedudukan di Kelurahan Kudamati, Petuanan Negeri Urimesing Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon telah melahirkan putusan Mahkamah Agung no 3410 /Perkara Kasasi tahun 2017 yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap tanggal 27 Agustus 2018, yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri Ambon, dimana dalam perkara No 62 tahun 2015 di Pengadilan Negeri Ambon dalam amar putusannya menerangkan bahwa surat penyerahan 6 potong dusun dati oleh Saniri Negeri Urimessing kepada Hein Johannes Tisera ayah kandung dari Yohanes alias Buke Tisera tanggal 28 Desember 1976 adalah surat palsu dan dinilai oleh hakim Pengadilan Negeri Ambon cacat hukum.
Dinilai cacat hukum lantaran, penyerahan 6 potong dati yang didalamnya adalah dati Kudamati, lokasi berdirinya RSUD dr Haulssy tidak memiliki korelasi antara hari dan tanggal penyerahan. Dimana dalam surat penyerahan dicantumkan tanggal 28 Desember 1976 itu jatuh pada hari Jumat, namun yang sebenarnya tanggal 28 Desember 1976 itu adalah hari Selasa. Kuat dugaan surat penyerahan tersebut berlaku surut sehingga mengabaikan akurasi surat penyerahan antara hari dan tanggal, yang tidak sesuai
.
Hal yang menonjol bahwa, penyerahan 6 potong tanah dati pada tanggal 28 Desember 1979 tersebut dilakukan pada masa kepemimpinan Hein Yohanes Tisera sebagai Kepala Pemerintahan atau raja di Negeri Urimesing, sehingga tidaklah logis adanya penyerahan disaat Hein Johanis Tisera menjabat, sehingga dalam klausul ini dapat dikatakan adalah penyerahan dalam jabatan.
Sesuai petikan amar putusan pengadilan Negeri Ambon No 62 tahun 2015 pada point ke 4 menyatakan bahwa surat penyerahan enam (6) potong dati dari Saniri Negeri Urimesing kepada Henin Johanis Tisera tertanggal 28 tahun 1976 adalah cacat hukum. Sehingga kepemilikan lahan yang selama ini diklaim oleh Buke Tisera atau Yohanes Tisera tidak mendasar.
Hal lain juga, terkait kedudukan lahan RSUD dr Haulussy versi Buke Tisera bahwa lahan tersebut berada di atas dusun dati Pohon Ketapang pun patut dipertanyakan karena letak lahan RSUD dr Haulussy berada diatas dusun Dati Kudamati yang dapat dibuktikan dengan gambar peta Ambon en OMSTREKEN tahun 1924 yang dengan jelas menyatakan bahwa RSUD Halussy ada diatas dati Kudamati, yang juga diperkuat dengan surat keterangan Pemerintah Negeri Urimesing tahun 1976.
Dalam kaitan dengan persoalan pembayaran lahan yang telah dilakukan pembauaran beberapa tahap dan nilainya sudah mencapai Rp18 miliar, diduga kuat terdapat dua produk hukum peninjauan kembali (PK) nomor 512 PK/PDT/2014 yang menolak PK yang dilakukan oleh saniri negeri atau Badan Permusyawaratan Negeri Amahusu maka perkara gugatan RSUD Dr Haulusy Ambon yang diperkarakan oleh sejumlah pihak, di antaranya Rudolfus Wattimena, Keluarga Waas, Negeri Amahusu dan keluarga Jacobus Abner Alfons melawan Pemerintah Provinsi Maluku.
Dalam kaitan produk hukum pada tingkat PK perkara nomor 512 tahun 2014 tersebut diduga memiliki dua putusan. Dimana putusan PK pertama menerangkan bahwa almarhum Jacobus Abner Alfons selaku pemohon PK, padahal semestinya kedudukan Almarhum Jacobus Abener Alfons itu selaku Termohon PK maka dilakukan perubahan kedua dalam Putusan 512.
Peberdaan yang berikut pada produk hukum tingkat PK ini adalah putusan nomor 512 yang pertama terdapat 31 halaman sedangkan putusan 512 yang kedua terdapat 38 halaman. Bahkan putusan 512 PK yang diterbitkan untuk kali kedua tidak membatalkan putusan 512 PK yang pertama. Ironisnya putusan PK 512 yang pertama dan kedua dikeluarkan pada tanggal atau waktu yang sama, nomor yang sama, serta hakim yang memeriksa ini juga adalah hakim yang sama.
Untuk diketahui dalam melakukan pembayaran berdasarkan putusan yang bersifat deklaratoir, serta berdasarkan akta notaris tanggal 4 Maret tahun 2017 kini sudah mendapat kajian hukum dari Biro Hukum Setda Maluku dan diduga terdapat kejanggalan yaitu terkait batas objek yang tidak sesuai serta luas lahan yang tidak dapat dipastikan karena menggunakan bahasa kurang lebih (-+) bahkan pembayaran yang dilakukan tidak melalui perhitungan tim Appraisal.
Dalam kaitan dengan itu juga, pembayaran ganti rugi lahan RSD dr Haulussy tahap pertama sebesar Rp 10 miliar, pembayaran kedua sebesar Rp 3 miliar dan pembayaran tahap ketiga sebesar Rp 5 miliar lebih dan tersisah Rp 31 miliar lebih masih dipegang oleh Pemprov Maluku.
Pembayaran Lahan Dinkes Maluku
Sementara untuk masalah pembayaran ganti rugi lahan Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Maluku yang berada di Kelurahan Karang Panjang, Kecamatan Sirimau, Petuanan Negeri Soya ke pada ahli waris Izack Baltasar Soplanit senilai Rp 14 miliar diduga bermasalah alias hasil pembayaran tidak dinikmati oleh pemilik lahan dalam hal ini Tan Kho Hang Hoat berdasarkan adanya ikatan hukum antara Tan Ko Hang Hoat dengan Izack Baltasar Soplanit berupa Akta Notaris PPAT Nicolas Pattiwael nomor 9 tanggal 8 Mei tahun 2014.
Dalam perjalanan atas sengketa lahan ini, Tan Kho Hang Hoat telah melaukan pembayaran lahan seluas 20.000 meter persegi tersebut dimana isi dari akta notaris tersebut menerangkan bahwa setelah pihak Soplanit memenangkan pekara melawan Pemerintah atas lahan yang telah didirikan Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Maluku tersebut harus diserahkan ke Tan Kho Hang Hoat karena telah terjadi ikatan jual beli.
Singkatnya dalam perkara ini, sumber media ini menerangkan perkara ini kini sudah ditangani pihak Polda Maluku, dimana substansi penyelidikan tersebut mengarah pada upaya membongkar dugaan Tipikor pada pembayaran lahan Dinas Kesehatan Provinsi Maluku yang telah menelan anggaran Rp14 miliar yang merupakan pembayaran tahap pertama dari Rp 24 miliar yang telah ditetapkan.
Dalam kaitan dengan itu, sumber media ini juga menerangkan atas dugaan ketidak profesionalnya penyidik Polda Maluku dalam memeriksa Tan Kho Hang Hoat sebagai terlapor justru berakibat pada dimutasikannya sejumlah penyidik Subdit 2 Polda Maluku. Penyebabnya diduga karena oknum penyidik terlalu terburu – buru dalam menetapkan Tan Kho Hang Hoat sebagai tersangka dengan mengeluarkan surat keterangan yang dihadirkan di ruang sidang pengadilan negeri Ambon. Kasus ini kabarnya sememntara di tangani pihak Propam Polda Maluku atas dugaan pelanggaran kode etik Kepolisian RI.
.Hal ini dikarenakan, oknum penyidik polda Maluku diduga mengeluarkan surat keterangan status tersangka Tan Kho Hang Hoat yang dihadirkan di Pengadilan Negeri Ambon pada perkara gugatan perlawanan sehingga Tan Kho Hang Hoat harus menerima kerugian. Padahal nyatanya Tan Kho Hang Hoat masih berstatus terlapor. Termasuk adanya proses penyelidikan yang dilayangkan Nimbrod Soplanit ke Propam Polda Maluku atas lambatnya penanganan laporan penggunaan akta notaris nomor 9 tahun 2014 Tan Kho Hang Hoat.
.
Terkait laporan Soplanit, kabarnya telah dicabut, dengan konsekuensi oknum penyidik harus mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam untuk melancarkan proses penyelidikan untuk memeriksa Tan Kho Hang Hoat.
Atas proses dugaan pelanggaran kode etik di Polda Maluku, informasi dari sumber media ini menerangkan pihak penyidik Polda Maluku telah melakukan koordinasi tertulis ke Dewan Kerhormatan Notaris Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Maluku untuk dapat memberikan fotocopy minuta untuk proses penyelidikan lanjut.
Terhadap dua persoalan dimaksud, Praktisi Hukum Maluku, Ross Kuba Lestaluhu yang dihubungi via handphone menerangkan, apa yang diviralkan lewat pemberitaan media harus menjadi atensi aparat berwajib. Karena publik berhak mengetahui.
Dikatakan, aparat berwajib dalam hal ini pihak Kepolisian dan Kejaksaan sudah waktunya untuk melakukan penyelidikan atas persoalan pembayaran lahan RSUD dr Haulussy dan pembayaran lahan Dinkes.
“ Saya berpendapat agar masalah ini cepat tuntas dan publik mengetahui maka satu satunya cara adalah diproses hukum, yang tentunya akan lebih memberikan kepastian ada tidaknya perbuatan melawan hukum.” tegasnya.
Diucapkan, perbuatan melawan hukum memiliki kaitan dengan persoalan administrasi termasuk akta otentik. Dan jika ada kesalahan dalam hal administrasi termasuk persoalan keperdataan maka diduga akan ada perbuatan melawan hukum.
“ Rangkaian yang tidak bisa dipisahkan, bahwa munculnya perbuatan melawan hukum bisa berasal dari hal hal yang berkaitan dengan adminstrasi dan atau akta otentik serta produk perdata. Dengan demikian aparat diminta focus dalam menyesaikan dua masalah ini sehingga publik pun puas,” tutupnya. (TIM)