-Akademisi: Merdeka 75 Tahun, Maluku Dapat 0
AMBON, SPEKTRUM – Usia Negara Kesatuan Republik Indonesia hampir satu abad. Tepat Senin (17/8/2020) hari ini, NKRI berusia 75 tahun. Kemerdekaan dilahirkan oleh para pejuang di nusantara serta founding fathers 75 tahun silam harus dilalui dengan pengorbanan darah dan air mata.
Intinya memetik kemerdekaan dari genggaman kaum kolonial, sehingga rakyat Indonesia termasuk Maluku dapat hidup layak di bumi yang beradab ini.
Lalu pasca kemerdekaan negeri ini terwujud, bagaimana dengan distribusi keadilan oleh Pemerintah Pusat atau Pempus seperti tertususun rapi dalam UUD 1945 dan Pancasila?
Pertanyaan klasik tersebut hingga detik ini, ragam pikiran bahkan sebagian besar masih mepolemikannya. Banyak yang mengkritik para pejabat di negara ini, karena tidak secara nyata mempraktikan amanah (UUD 1945 dan Pancasila) sesuai harapan awal negara ini didirikan.
Biang kerok problem negara ini, persoalan transfer keadilan dari pusat ke seluruh daerah di pelosok wilayah nusantara, khususnya lagi di Provinsi Maluku, belum sesuai asa yang termaktub dalam falsafah UUD 46 dan Pancasila. Penyelenggara negara di pusat belum sepenuhnya melaksanakan amanat dimaksud.
Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, Asrul Pattimahu merefleksikan beberapa pekerjaan rumah yang substansinya adalah masalah distribusi keadilan oleh pemerintah pusat ke Maluku.
Menurutnya, usia NKRI kini 75 tahun, tapi aneka janji yang di amanatkan oleh UUD 1945 dan Pancasila, terkesan mengambang alias diabaikan para oknum penyelenggara negara di pusat kekuasaan.
“Keadilan itu satu issu yang sangat sensual dalam ukuran sebuah Negara bangsa yang besar, apalagi seperti Indonesia, dengan realitas masyarakat yang multicultural dan multi agama,” ungkap Asrul Pattimahu, saat diwawancarai Spektrum Online di Ambon, Minggu (16/8/2020), tentang isu distribusi keadilan Pempus ke Maluku.
Dalam konteks itu, menurut Ruly (sapaan akrab Asrul Pattimahu), yang juga mantan Pengurus Besar Himpunan Mahsiswa Islam ini mengemukan asumsinya, standar keadilan tidak bisa di ukur sama rata untuk semua lapisan dan atau semua daerah.
Dalilnya, karena keragaman etnis, agama, budaya, termasuk komposisi geografis memungkinkan pengertian keadilan menjadi berbeda.
Ruly menggaris bawahi, keadilan untuk masyarakat di Maluku misalnya, tidak bisa diukur dengan standar keadilan di Jawa.
Alasannya, karakter sentiment agama dan budaya di Maluku jauh berbeda dengan daerah lain, apalagi secara geografis.
“Pemahaman seperti ini penting dimiliki Pempus untuk menyusun kebijakan dalam hal distribusi keadilan,” jelasnya.
Dikemukakannya, Maluku yang bukan daerah continental jika alokasi anggaran dari Pempus untuk Maluku dihitung berdasarkan luas daratan seperti Jawa, Sumatera, atau Kalimantan, ini sesungguhnya sesuatu yang tidak adil.
Ironisnya, perjuangan Pemerintah Daerah dan masyarakat agar Maluku menjadi Provinsi Kepulauan belum mendapat kepastian dari Pempus.
Belum lagi, sambung dia, soal Maluku menjadi Lumbung Ikan Nasional (LIN), dalam penilaiannya belum ada tanda-tanda dukungan infrastruktur untuk mewujudkan LIN di provinsi berjuluk seribu pulau ini.
“Jadi sebetulnya kalo kita hitung secara agregat, distribusi keadilan untuk Maluku itu 75-0. Indonesia sudah merdeka 75 Tahun, tapi Maluku dapatnya 0,” tegas Asrul Pattimahu. (S-14)