Oleh
Fanny S. Alam
Koordinator Regional Bandung School of Peace Indonesia, Content Analyst of Peacegen Indonesia, Expert Team of Curriculum Tular Nalar by Google, Mafindo, Love Frankie
Kejadian teror bom di lokasi sekitar Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, yang terjadi tanggal 28 Maret 2021, kembali mengejutkan Indonesia. Betapa tidak, kejadian ini terjadi ketika umat Katolik sedang merayakan ibadah minggu suci Palma, sebagai rangkaian masa pra Paskah dan menjelang masa persiapan puasa Ramadhan bagi umat Islam. Diduga sebagai bom bunuh diri, Pastor Gereja Katedral Makassar, Romo Wilhelmus Tulak mengatakan, pelaku bom bunuh diri berusaha masuk ke gereja sebelum akhirnya meledak di pintu gerbang gereja.
Kejadian ini mengingatkan kita pada teror bom gereja di Gereja Kristen Indonesia, Surabaya pada tahun 2018 silam. Ketika itu, Ibu dan dua anaknya berupaya masuk ruang kebaktian dan sempat dihalang seorang sekuriti di pintu masuk GKI sebelum kemudian meledakkan diri. Kemudian, belum usai dari ingatan tanggal 27 November 2020 silam ketika terjadi teror di Sigi, Sulawesi Tengah. Ditenggarai bahwa aksi ini dilakukan oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur dari Poso, teror ini menewaskan 4 orang dari satu keluarga, pembakaran 6 rumah warga serta 1 rumah pelayanan umat.
Rangkaian kejadian di atas membuat pemerintah Indonesia bersiap menangkal potensi-potensi teror yang dikategorikan sebagai kekerasan ekstremisme mengarah ke terorisme. Teror bom di Surabaya menyebabkan pemerintah merevisi peraturan tentang pencegahan kekerasan ini lewat munculnya UU no. 5 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Sedangkan, tanggal 6 Januari 2021, Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
Mengapa Teror tetap Terjadi?
Pecahnya peristiwa kekerasan ekstremisme mengarah kepada terorisme di Indonesia sudah semestinya menjadi ancaman yang harus diwaspadai. Tentunya, kehidupan masyarakat Indonesia yang plural dan beragam ini terancam harmoninya, serta mengancam hak atas keamanan dan beresiko mengurangi stabilitas keamanan nasional.
Masa pandemi Covid-19 tidak serta merta menurunkan potensi ancaman ekstremisme kekerasan. Suatu studi yang dilakukan oleh The Habibie Center menghubungkan pandemi dan penurunan kualitas demokrasi di Indonesia yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk secara intens menyusun kekuatan, menggalang simpati, dan membuka kesempatan bagi mereka untuk melakukan perekrutan. Jelas mereka memanfaatkan situasi ketika pemerintah sedang berkonsentrasi bagi antisipasi pandemi.
Dalam skala masyarakat akar rumput, potensi kekerasan ekstremisme yang mengarah pada terorisme memperlihatkan peningkatan peran mahasiswa dan perempuan sebagai pelaku aktif. Dr. Neng Hannah, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, yang juga merupakan bagian dari Ulama Perempuan Indonesia, menggarisbawahi peran perempuan yang meningkat dalam ekstremisme kekerasan. Mereka sudah dilibatkan dalam perencanaan strategis, tidak hanya dalam persiapan logistik, namun lebih kepada tahap pelaksanaan di lapangan, termasuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Sementara itu, studi yang dilakukan BIN pada 15 provinsi menemukan sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar paham radikal (antaranews, 2018), serta beberapa kejadian teror setelahnya melibatkan mahasiswa sebagai pelaku aktif, contohnya kasus ledakan akibat bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan.
Pentingnya Moderasi Beragama
Iklim bermasyarakat di Indonesia yang plural serta memiliki banyak perbedaan dan keberagaman, dari suku, etnis, agama, dan budaya, merupakan kunci bagaimana konflik yang mengatasnamakan perbedaan salah satunya mudah terjadi, serta mengarahkan pemikiran radikalisme ke arah ekstremisme kekerasan. Pemikiran mengenai agama yang konservatif merupakan dasar mengapa radikalisme mudah terbentuk, bahkan pada lingkungan teredukasi.
Kondisi seperti demikian tidak akan mendorong harmoni yang sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, serta prinsip konstitusi negara UUD 1945 yang pada dasarnya melindungi kehidupan pemerintah dan warga negaranya secara menyeluruh tanpa terkecuali.
Penanganan radikalisme dan ekstrimisme kekerasan dapat dilakukan melalui pelaksanaan moderasi beragama. Ia meletakkan dasar pemikiran dan cara pandang melihat perbedaan agama secara bersama dengan cara yang baik dan adil untuk mencapai kebaikan bersama dalam segi kehidupan. Pentingnya moderasi beragama ini untuk menciptakan kerukunan harmoni sosial sama hal nya dengan menjaga kekebebasan beragama dan berkeyakinan dalam kemajemukan yang ada di Indonesia.
Keberagaman di Indonesia merupakan bentuk kekayaan negara yang seharusnya dijaga oleh kita semua. Untuk itulah, partisipasi masyarakat secara penuh melalui moderasi agama merupakan bentuk signifikan yang diharapkan dapat menumbuhkan pengertian dan empati satu sama lain terhadap yang berbeda. Hal ini penting untuk meredam pemikiran konservatif yang cenderung hitam putih dalam melihat suatu hal, serta dapat mengurangi potensi radikalisme yang berujung pada konflik ekstremisme kekerasan di Indonesia.