Pers di Ambon ramai-ramai melansir skandal pembobolan dana Bank Negara Indonesia di Ambon. “Pembobol BNI 46 Aktor Utama Buron”, tulis headline Harian Siwalima (17/10). Harian Rakyat Maluku menurunkan berita di halaman utama (17/10) :“Ada Pengacara dan Dosen di Skandal BNI”. Esok harinya (18/10), Rakyat Maluku menulis : “Polisi Kejar Penampung Dana Haram”. Judul lebih menohok atas keterlibatan pihak lain dilansir Harian Spektrum (18/10) : “DN Turut Menikmati Dana 124 M?”.
Dana yang dibobol, dalam berita media massa, sebelumnya ditulis Rp124 miliar, namun dikoreksi jumlahnya Rp58.950.000.000. “Jadi sesuai laporan itu ada kerugian dari pihak BNI, karena tidak sesuai prosedur, sekitar 58 miliar lebih,” kata Kabid Humas Polda Maluku M Roem Ohoirat, kepada Harian Rakyat Maluku, (18/10). Kasus ini sementara ditangani Polda Maluku, dari bagian Direktorat Kriminal Khusus.
Skandal BNI
BNI adalah bank pelat merah, salah satu badan usaha di bidang perbankan, yang dimiliki pemerintah. Skandal di bank ini belum diketahui modus operandinya karena baru dilaporkan kepada kepolisian. Namun berdasarkan pemeriksaan internal, diduga telah terjadi kesalahan prosedur, yang dilakukan Wakil Kepala Bank BNI Cabang Ambon, dengan inisial FY. Kerugian akibat skandal ini diduga sebanyak Rp58.900.000, sesuai keterangan dari Kabid Humas Polda Maluku, M. Roem Ohoirat kepada pers di Ambon.
Jika kerugian BNI berkaitan dengan kesalahan prosedur yang dilakukan FY, maka penyelidikan dan penyidikan kepolisian harus memastikan kesalahan prosedur itu sesuai standar operasional prosedur (SOP) di BNI, dengan tindakan yang dilakukan FY.
Dalam jabatannya sebagai Wakil Kepala BNI Ambon, bagian pemasaran, apakah yang dilakukan FY sekedar kesalahan prosedur? Jika iya, maka FY belum bisa didalilkan melakukan kejahatan di bidang perbankan. FY hanya dapat dianggap lalai sebagai pejabat bank, sehingga merugikan BNI.
Pengacara FY, Pileo Pistos Noija, juga menegaskan hal tersebut. Menurutnya, apa yang dilakukan FY adalah bagian dari strategi pemasaran di BNI, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala BNI Ambon, bagain pemasaran. FY, kata Noija, menggaet nasabah BNI dengan menawarkan cash back dan bunga, sehingga tertarik men-deposito-kan dananya di BNI.
Bila seperti itu, kerugian BNI hanya berkisar dengan adanya cash back dan bunga yang diterima nasabah. Sebab kelalaian itu muncul dari strategi bisnis, dalam relasi pejabat bank dengan nasabah. Kerugian itu dapat dikembalikan oleh nasabah kepada bank dan pejabat bank dapat diproses disiplin oleh bank.
Jika logika ini yang digunakan dan terbukti, maka wajar kalau klaim pengacara FY bahwa dana itu tidak dibobol FY, melainkan dikelola oleh FY untuk kepentingan bank dan nasabah. “Artinya uang itu dikelola klien kami bukan untuk kepentingan pribadinya,” tegas Noija kepada Rakyat Maluku (17/10).
Sampai disitu tidak akan ada pihak lain, yang perlu disertakan, di luar nasabah dan pejabat bank. Karena itu upaya untuk mengait-ngaitkan pihak lain di luar nasabah dan FY, menjadi tidak relevan. Apalagi, jika benar seperti kata Noija, dana tersebut dikelola bukan untuk kepentingan FY.
Tindak Pidana Pencucian Uang
Posisi FY dalam skandal ini bisa sangat serius, jika dikaitkan dengan dugaan tindak pidana di bidang perbankan. Apalagi FY diduga dengan sengaja menggelapkan dana bank atau menyamarkan dana nasabah untuk kepentingan dirinya. Karena itu motif dari skandal ini, dalam proses penyelidikan kepolisian, harus memastikan adanya niat (mens rea) dari FY dan pola operasinya dalam melakukan pembobolan bank.
Banyaknya dugaan dan tudingan bahwa FY memiliki kekayaan yang fantastis, bisa menjadi petunjuk ke arah itu. Misalnya dengan profil pendapatan sebagai pejabat Bank, apakah FY bisa memiliki beberapa unit mobil mewah, bebrapa unit rumah mewah, salon dan lain-lain, dari pendapatannya itu? Kecuali FY punya alibi tertentu berkaitan dengan kekayaannya. Katakanlah diperoleh melalui pendapatan usaha atau warisan.
Apalagi FY diisukan royal memberikan hadiah mahal kepada pihak lain, seperti yang dilansir media massa. Pihak-pihak yang menerima itu, dalam pengembangan penyelidikan dan penyidikan, dapat pula dibuktikan sesuai Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 atau setidak-tidaknya Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam Pasal 2 UU a quo kejahatan di bidang perbankan adalah salah satu kejahatan dari 21 kejahatan sebagai predicate crime, yang dapat dilanjutkan pemeriksaannya sebagai tindak pidana pencucian uang.
Siapa pelaku TPPU, setelah adanya kejahatan predicate crime dalam Pasal 2 UU? UU mengenal dua pelaku TPPU, yakni setiap orang (Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5) atau korporasi (Pasal 6).
Pasal 3 UU menyatakan : “Setiap orang yang menempatkan, menstransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana……”.
Pasal 4 UU menegaskan : “Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga dari hasil tindak pidana….”.
Pasal 5 UU menentukan : “Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, penstransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga dari hasil tindak pidana….”.
Terbuktinya –setiap orang– dalam Pasal 3 dikenakan pidana penjaran paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Terbuktinya— setiap orang– dalam Pasal 4, dikenakan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Terbuktinya — setiap orang– dalam Pasal 5 dikenakan pidana penjaran paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Sedangkan untuk korporasi yang terbukti sesuai Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 hanya dikenakan pidana denda paling banyak Rp100 miliar, ditambah pidana tamabahan : pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagain atau seluruh kegiatan usaha, pencabutan izin usaha, perampasan asset dan/atau pengambilalihan korporasi oleh negara.
Bagi setiap orang atau korporasi yang disangka dalam Pasal 5 UU, sesuai Pasal 5 ayat (2) dikecualikan melakukan tindak pidana TPPU, bila menjadi Pihak Pelapor dalam tindak pidana TPPU. Namun demikian siapa Pihak Pelapor mengacu pada 16 pihak sebagaimana ditentukan Pasal 17 UU.
Kepolisian dapat memastikan setiap orang ; apakah FY, DN dan AT atau pihak lain berupa setiap orang sesuai unsur dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 atau korporasi sesuai Pasal 6 UU dalam tindak pidana TPPU.
Dalam penyelidikan dan penyidikan, kedudukan DN dan AT sangat ditentukan posisi status FY apakah melakukan tindak pidana perbankan atau tidak. Bila FY tidak terbukti melakukan tindak pidana perbankan (predicate crime), DN dan AT tidak dapat disangka atau diduga sebagai setiap orang dalam tindak pidana TPPU.
Bila cukup bukti, FY akan diadili dalam tindak pidana predicte crime-nya dan TPPU, sedangkan pihak lain dapat diduga dan disangka dalam tindak pidana TPPU. (**)