Proyek Balai Pom di Kudamati Sarat Masalah

AMBON, SPEKTRUM – Dugaan korupsi tercium di proyek pembangunan gedung pelayanan publik Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Maluku, yang berlokasi di Kudamati, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.

Proyek tersebut bernilai Rp.4.166.705.062,- tahun anggaran 2019. Proyek ini di kerjakan oleh CV. Jusren Jaya. Perusahaan yang dipimpin, Roberth Yunandi Djunaedi Radja itu merupakan pemenang lelang pekerjaan proyek berdasarkan surat nomor B-PL 02.02.119.1191.08.19.2017 tertanggal 29 Agustus 2019 tentang surat penunjukan penyedia barang dan jasa, kini sarat masalah.

Baik Roberth maupun PPK, Anton Dwi Nurchayo telah bersama menyetujui perikatan serta mendatangani surat perjanjian kontrak gabungan lumsum dan harga barang paket pekerjaan kontruksi pengadaan pembangunan gedung tersebut.

Sayangnya, surat perintah mulai kerja (SPMK) tertanggal 2 September 2019 yang dikeluarkan PPK sangat merugikan pelaksana proyek. Padahal sesuai jangka waktu kontra kerja pembangunan tersebut selama 120 hari kalender dimulai sejak 2 September 2019 hingga 30 Desember 20219.

Kabarnya, pada 4 September 2019, pihak Balai POM melakukan rapat, yang dipimpin langsung oleh pimpinan Balai POM. Hadir saat itu termasuk Roberth Yunandi Djunaedi Radja selaku pelaksana proyek serta konsultan pengawasan dan tim teknis dari Dinas PU Maluku.

Saat itu, pembongkaran serta pembersihan bangunan lama tidak tercantum dalam kontrak dan dokumen lelang dan dikerjakan oleh penggugat menggunakan biaya sendiri dengan telah menghabiskan dananya sebesar Rp1,4 miliar lebih.

Akibat dari keterlambatan pekerjaan pisik yang harus dikerjakan sejak tanggal 5 September 2019 sesuai keputusan rapat saat itu. Pelaksana proyek ditegur.

Meski terlambat, proyek tersebut tetap jalan, dilakukan oleh pelaksana proyek. Akan tetapi, pada 18 Oktober 2019, kontraktor diberikan surat teguran kedua. Pekerjaan tetap jalan.

Finalnya, Oktober 2019 surat teguran ketiga hingga pemutusan kontrak secara sepihak dengan alasan keterlembatan tersebut.

Saat pemutusan, Roberth Yunandi Djunaedi Radja tidak lagi bekerja. Uang yang telah dia keluarkan mencapai Rp. 1,4 miliar lebih. Persoalan ini, kemudian ia bawakan ke Pengadilan.

Dia menilai ada perbuatan melawan hukum dalam pemutusan kontrak tersebut. Anehnya lagi, setelah pemutusan kontrak, justru proyek tetap jalan. Roberth Yunandi Djunaedi Radja tak lagi bekerja akan tetapi orang lain.

Dimana sesuai Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang jasa kontruksi, proyek tersebut tidak boleh jalan dan harus dilakukan lelang ulang. Faktanya, proyek jalan dan tidak dilakukan lelang ulang. Maka, disitu timbul korupsi.

“Perpres jelas. Ketika pekerjaan disaat sudah dilakukan pemutusan kontrak maka semuanya mulai dari awal lagi. Lelang ulang, baru mulai pekerjaan. Faktanya kerja jalan maka disitu korupsi dan sesuai kontrak awal pekerjaan hanya 120 hari kalender dan itu selesai di Desember 2019,”sebut kuasa hukum dari Roberth Yunandi Djunaedi Radja, Jack Weno kepada Spektrum, Rabu (23/9/2020).

Meski begitu, yang kerja bukan lagi Roberth Yunandi Djunaedi Radja, tetapi orang lain.

“Pekerjaan sementara jalan. Itu korupsi. Kami juga sementara gugat PMH di Pengadilan atas persoalan ini. Pihak Balai POM selaku tergugat I dan PPK selaku tergugat II,” katanya. (S-07)