AMBON, SPEKTRUM – Huaulu, salah satu suku asli yang mendiami Nusa Ina Pulau Seram Bagian Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, sejak ratusan tahun silam.
Meski kehidupan masyarakat ini termarginal akibat terisolasi dari pusat perkotaan, namun nilai-nilai kearifan lokal tetap terjaga.
Dari kehidupan yang nomaden sampai menetap di sebuah perkampungan yaitu perkampungan suku Huaulu saat ini, identitas suku Huaulu tak pernah berubah atau termakan perkembangan zaman.
Sebelumnya kehidupan suku ini memang boleh dibilang sangat tertutup. Namun berjalannya waktu, mereka terlihat mulai adaptif dengan trend moderdinasi yang kian merambah. Ramah dengan orang baru yang datang di perkampungan mereka, bahkan sikap bercanda yang khas targambar di raut wajah. Natural humanis dan humble (rendah hati) inilah yang mampu menepis persepsi keliru sebagian orang soal kanibalisme dan sikap tertutup etnis Huaulu.
Kehidupan sosial budaya serta adat istiadat suku Huaulu tetap dipegang teguh sebagai bagian integral nilai-nilai kearifan local, walau pun ada sebagian yang dianggap oleh mereka sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan harus ditinggalkan oleh mereka sendiris.
Arsitektur rumah panggung, bangunan rumah adat baileo, kehidupan agraris pertanian tradisional, berburu binatang rusa, babi hutan kus-kus dan lainnya, adalah aktifitas rutin yang sudah berjalan turun temurun.
Memang, selaku sebuah komunitas yang berada di pegunungan yang jauh dari pesisir pantai, wajar bila jiwa agraris ( bertani dan perkebun) serta memburu binatang untuk kehidupan sehari-hari telah melekat dalam jiwa dan raga mereka. Jadi tentunya untuk mempertahankan kehidupan mereka sehari-hari, mereka harus berpetualangan menyusuri alam sekitarnya untuk mendapatkan nafkah hidup. Bidang kesehatan dan pendidikan perlahan mulai mendapat perhatian pemerintah, kendaati pun belum sebanding dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Uniknya, dalam kehidupan social budaya serta rumah tangga suku Huaulu, perempuan bukanlah sosok penjaga dapur saja atau hanya untuk memasak buat suami dan anak-anak melainkan ikut kerja keras seperti laki-laki dewasa. Membuat kebun untuk kehidupan sehari-hari dan dijual ke kota untuk mendapatkan uang itu merupakan tanggung jawab perempuan. Sedangkan orang laki-laki tetap bertugas untuk memburu binatang dan juga berkebun untuk kehidupan sehari-hari.
Inilah mata pencaharian utama suku Huaulu.
Baileo, sebagai rumah adat Suku Huaulu merupakan tempat bermusyaarah untuk memperoleh mufakat atau mengambil sebuah keputusan secara demokrasi untuk kepentingan mereka sendiri baik yang bersifat kedalam maupun keluar.
Contohnya bermusyawarah untuk mengatur strategi berperang melawan musuh dan keputusan-keputusan lain yang bersifat internal bagi komonitas masyarakat adat suku Huawulu sendiri. Kain berang di kepala orang laki-laki yang melambangkan keperkasaan dan keberanian adalah ciri khas suku Huaulu.
Banyak orang lebih mengenal suku Nuaulu ketimbang suku Huaulu. Namun kedua suku ini merupakan adik kaka. Huaulu menempati posisi bagian utara pulau Seram bagian tengah sedangkan suku Naulu menempati bagian selatan.
Dahulu untuk mendirikan sebuah rumah baileu, harus dilakukan upacara ritual adat yaitu menaruh tengkorak manusia sebagai batu alasan pada tiang penyangga baileu. Namun seiring berjalannya waktu, tengkorak manusia itu telah digantikan dengan tempurung kelapa (kelapa oing). Jadi fungsi baileu tdak hanya semata-mata merupakan tempat musyawarah dalam hal mengatur strategi perang melawan musuh, melainkan juga sebagai sarana bermusyawarah untuk kepentingan perkembangan komonitas desa adat tersebut.
Siapapu yang baru datang ke perkampungan suku Huaulu, pasti kesan pertama yang ia dapati adalah suasana yang sepi, alias luput dari hiruh pikuk keramaian. Dua bangunan sekolah terlihat berdiri kokoh di dekat pintu masuk perkampungan Huaulu. Informasi yang didapat seperti yang disampaikan Ema, salah seorang guru yang mengabi di perkampungan Huaulu, sekolah Paud yang merupakan dasar dan pondasi kuat bagi anak-anak sudah tidak berfungsi lagi lantaran tidak ada guru yang mau mengajar di situ. Aktifits belajar mengajar di tingkat Paud ini mulai terhenti pada saat Korona melanda negeri ini.
Walaupun suku Huaulu belum memeluk sebuah agama namun keyakinan dan kepercayaan nenek moyang secara kultural itu sudah berlangsung sejak dahulu sampai saat ini yaitu agama suku. Dan hampir sebagian besar penduduk asli di pulau Seram, sebelum ada agama yang masuk ke sana, kepercayaan dan keyakinan mereka akan sang pencipta itu sudah ada, dan dinamainya agama suku. Misalnya untuk suku Wemale di Seram Bagian Barat menyebut Tuhan pencipta langit dan bumi adalah Upu Lai Lai Lante Takule begitu pun suku-suku yang lain.
Walau petualangan suku Huaulu di tantang oleh modernisasi namun kearifan lokal mereka terus terjaga. Kiranya pemerintah dapat memperhatikan suku Huaulu ini agar bisa berkembang maju setara masyarakat yang lain di Maluku khususnya pulau Seram, terutama masalah pendidikan.
Seperti diketahui saat ini hanya ada tiga orang guru yang mengabdi di SD Huaulu. Hal ini yang harus menjadi catatan kaki bagi pemerintah khususnya pemerintaqh kabupaten Maluku Tengah. (EMA/NUSYE)