Opini  

Peran Psikologi Desa Mendorong Masyarakat Menemukan Potensi Desanya

Oleh: Muh Kashai Ramdhani Pelupessy,
Lulusan Magister Psikologi Sains Universitas Negeri Yogyakarta

Sejak beredar informasi Dana Desa tak lagi di dikucurkan ke masyarakat, maka muncul pertanyaan, “Lantas kita harus bagaimana?”. Ya, lebih baik di tarik saja Dana Desa itu daripada tidak ada kejelasan sama sekali.

Sampai sekarang, kalau di hitung, hanya sepersekian persen dari beberapa desa di Indonesia yang benar-benar jujur merealisasikan Dana Desa dalam wujud konkrit. Paling banyak, terjadi inkonsistensi antara program yang diusung pemerintah desa dengan proses merealisasikannya.

Pertanyaan, “Kita harus bagaimana?” ini menarik untuk di ulas. Semoga pertanyaan itu betul-betul muncul dari sanubari masyarakat, terkhusus para pengambil kebijakan di tingkat lokal. Olehnya itu, artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut, sesuai sudut pandang “Intervensi Komunitas” yang sempat penulis pahami dan diajari dalam kajian psikologi sosial.

Hadirnya pertanyaan di atas itu membuktikan bahwa masyarakat kita mulai belajar berpikir “mandiri”, yakni “kita harus bagaimana?”. Ada dua kecenderungan perilaku ketika seseorang berada dalam posisi terdesak. Pertama, bertindak “nekat”, dan kedua bertindak “berani”.

Ada dua ciri dari bertindak “nekat”. Pertama, bertindak tanpa nalar kritis, dan kedua bertindak tanpa nalar kreativitas. Sehingga, kita sulit melihat potensi desa, dan rutinitas yang dijalani hanya seputar itu-itu saja. Artinya, tidak ada efek bagi kemajuan desa.

Sebaliknya, masyarakat yang bertindak “berani” akan berusaha melihat potensi desa dan berusaha mengelolanya. Sikap berani ini di dasarkan pada nalar kritis dan kreativitas dari pemerintah desa dan masyarakat setempat. Dari sinilah muncul efek kejut bagi kemajuan desa. Nah, penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana menemukan potensi desa ini.

Ada empat proses yang harus dilakukan oleh pemerintah desa atau para pengambil kebijakan lokal. Pertama, pemerintah desa bersama masyarakat harus membentuk tim kerja. Tim kerja ini tak perlu banyak orang, yang penting sedikit tapi efektif dan produktif.

Para tim kerja terdiri dari orang-orang yang diakui masyarakat memiliki kemampuan berpikir kritis (non-politis) dan kreatif. Para personel harus punya jiwa saling mendukung, dan tidak memiliki kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Keberhasilan dan kegagalan harus di tanggung bersama.

Kedua, setelah tim kerja dibentuk, barulah tugas mereka ialah mencari, menemukan, dan menganalisis potensi desa yang ada. Ada empat potensi desa yang bisa diperhatikan, (1) potensi sumber daya manusia, (2) potensi pengelolaan teknologi, (3) potensi wisata alam, dan (4) potensi budaya atau kearifan lokal. Setelah ditemukan potensi desa barulah dipetakan kekuatan dan kelemahannya.

Ketiga, setelah itu buatlah langkah dan jadwal kerja untuk merealisasikan pengelolaan potensi desa tersebut. Jadwal kerja perlu segera ditetapkan agar ada progres atau perkembangan juga sasaran yang ingin di capai. Terakhir, keempat, mulailah bekerja merealisasikan program-program tersebut.

Itulah proses mencari dan menemukan potensi desa. Berikut ini, penulis akan kemukakan beberapa kasus terkait ketercapaian segelintir desa yang berhasil mengelola potensi desanya. Ada kasus di Yogyakarta tahun 2016 lalu, Eka Arifa berhasil mengembangkan pengolahan sampah plastik menjadi batu bata.

Batu bata itu dia buat dengan cara memasukkan dan memadatkan sampah plastik yang sudah bersih dan kering ke dalam botol plastik berukuran 600 millimeter. Ukuran botol ini dapat menampung 250 gram sampah plastik atau setara dengan 2.500 lembar plastik. Proses ini di sebut ecobricks. Dari proses itu barulah dibentuk menjadi batu bata ramah lingkungan.

Kasus optimalisasi industri rumahan. Ada kasus di Bandar Lampung, buah nangka dikelola menjadi keripik yang memiliki nilai harga cukup tinggi. Kasus ini di dasarkan pada potensi kearifan makanan lokal. Kalau di Maluku, banyak kita temukan ibu-ibu rumah tangga yang senang membuat cemilan dodol durian, sagu tumbuk, dll. Jika ini dikelola dengan baik maka dapat mendatangkan kemajuan materil di tingkat desa.

Titik fokus pengolahan kearifan makanan lokal ini yakni, (1) peningkatan kemasan (packaging), misalnya dodol durian dikemas lebih cantik dan centil sehingga menambah nilai harga barang; (2) coba ibu-ibu rumah tangga lakukan eksperimen cita rasa, misalnya masak dodol durian ditambah cita rasa tertentu atau durian dibuat menjadi keripik (apakah bisa?); dan terakhir (3) lakukan perluasan dan peningkatan pemasaran, misalnya lewat jual-beli online yang dibantu pemuda milenial untuk mem-viral-kan-nya.

Terakhir, kasus di Yogyakarta, kalau tidak salah di daerah Kulonprogo, masyarakat setempat merubah selokan (irigasi) menjadi wisata arum jeram. Bisa dikatakan, upaya masyarakat itu terbilang “gila” sekaligus kreatif tingkat tinggi. Tak pernah terpikirkan, kok bisa selokan diubah menjadi wisata arum jeram.

Itulah proses masyarakat menemukan potensi desanya, yakni lebih terkait dengan potensi alam. Sekarang ini, wisata arum jeram ala selokan itu sudah berhasil menghasilkan pendapatan desa yang dikelola bersama-sama oleh masyarakat setempat.

Sebetulnya, desa-desa di Maluku banyak memiliki potensi alam yang dapat dikelola menjadi pendapatan desa. Mencari dan menemukan potensi alam ini tak perlu muluk-muluk (yang sulit dijangkau). Yang penting sederhana, dapat dikerjakan, di realisasikan, dan dikelola oleh masyarakat setempat, seperti kasus alih fungsi selokan di atas itu menjadi wisata arum jeram.

Hasil kreativitas masyarakat mengelola potensj alam ini bisa menjadi unik dan mendatangkan keuntungan materil, jika diperkuat oleh pemuda milenial setempat mem-viral-kan wisata alam tersebut ke kancah nasional bahkan global. Dari sekian kasus-kasus itu, apakah kita bisa melakukannya? Penulis yakin sangat bisa jika kita mau bertindak “berani” bukan “nekat”. (*)