AMBON, SPEKTRUM– Pemerintah provinsi belum optimal mengimplementasikan Keputusan Menteri Kesehatan No.220/Menkes/SK/III/2002 tentang Tim Pembina, Tim Pengarah dan Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM).
Hal ini terindikasi dari masih banyaknya Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang berkeliaran di jalan tak tertangani dan juga adanya pemasungan di Maluku.
Menurut Kepala Departemen Rumah Pembelajaran Kesehatan Jiwa (RPKJ) Yayasan Satunama, Jogjakarta yang menangani isu kesehatan jiwa, Karel Tuhehay mengatakan, persoalan ODGJ harus dipandang sebagai persoalan yang kompleks, sehingga penanganannyapun juga harus terpadu dan menyeluruh.
Baca juga: RSKD Temukan Pemasungan ODGJ di Banda
Ia menyebut, ODGJ tidak hanya berhadapan dengan masalah kesehatan psikis semata tapi ada persoalan sosial lain, misalkan jika ada ODGJ yang kambuh dan ngamuk-ngamuk maka butuh aparat keamanan (TNI dan Polri).
“ Kemudian ada juga ODGJ yang tidak memiliki identitas diri, maka perlu ada Dukcapil agar dia bisa punya KTP untuk mengurus BPJS, misalkan,” jelasnya.
Selain pelibatan Rumah Sakit Jiwa/RSKD dan Puskesmas untuk pelayanan ODGJ, keterlibatan Camat bahkan desa juga diperlukan karena wilayah kerjanya sampai di desa.
Menurut Tuhehay, Dinas Sosial juga harus aktif terlibat karena ODGJ merupakan salah satu dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Dinas Tenaga Kerja, untuk pemberdayaan ODGJ dengan sejumlah pelatihan setelah pulih bagi penyintas atau survivors.
Baca juga: One Day Care Program Unggulan, RSKD Terakreditasi Paripurna
Tidak hanya itu, Dinas Infokom dan Dinas Pendidikan kata Tuhehay juga mestinya mengambil peran yang lebih massif untuk membangun kesadaran publik. Memberi penyadaran ke publik bahwa ODGJ tidak perlu dijauhi atau ditakuti tapi perlu dirangkul karena tidak semua ODGJ berperilaku kekerasan. Juga untuk mengikis stigma negatif terhadap ODGJ.
“ Infokom atau media misalkan TV, koran mestinya bisa menjadi corong edukasi untuk publik. Dinas Pendidikan, agar sekolah- sekolah juga bisa mengedukasi murid-muridnya tentang kesehatan jiwa dalam mata pelajaran atau ekstrakurikuler atau Bimbingan dan Penyuluhan,” tandasnya.
Tidak hanya di sekolah-sekolah, di perguruan tinggi pun, lanjut Tuhehay, di kampus-kampus perlu ada Unit Kegiatan Mahasiswa untuk isu Kesehatan Jiwa (Keswa).
Dikatakan, Maluku adalah daerah kepulauan sehingga strategi yang paling mungkin bisa dikembangkan untuk penanganan ODGJ adalah strategi Community Based Rehabilitation (CBR) atau Strategi Berbasis Masyarakat atau Cari Bina Rehab atau seringkali disebut juga Rehabilitasi Berdasar Masyarakat (RBM).
Baca juga: Belum Divaksin? Ayo Suntik Vaksin di Lapangan Merdeka
“ Karena Panti atau Pusat Rehab saja gak ada. Maka salah satu jalan adalah memanfaatkan pendekatan berbasis masyarakat,” tandasnya.
Menurut dia, TPKJM sendiri merupakan suatu wadah koodinatif lintas sektor dalam pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan jiwa dan psikososial, yang terdiri dari: Tim Pembina (tingkat Pusat) Tim Pengarah (tingkat Provinsi) dan Tim Pelaksana (tingkat Kabupaten Kota) Kesehatan Jiwa Masyarakat.
TPKJM ini berisi berbagai stakeholders seperti : Rumah Sakit, Puskesmas, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dukcapil, Polres, Koramil, Camat, Kades dan masyarakat.
Kendati sudah ada sejak 2002, kata Tuhehay, aktivitasnya belum maksimal hingga kini. Hal ini terkait kesadaran, kemampuan dan yang lebih penting adalah kemauan dari semua pemangku kepentingan.
Tim pengarah Kesehatan Jiwa Masyarakat di tingkat provinsi adalah Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi. Koordinatornya adalah Sekretaris Daerah Provinsi dan Ketuanya adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Sementara anggota tim pengarah adalah beberapa kepala perangkat daerah terkait, kepala kepolisian daerah (Kapolda), direktur RSKD dan LSM serta organisasi profesi.
Menurut Kepmenkes tersebut, tugas tim pengarah provinsi adalah untuk mengdentifikasi dan klasifikasi masalah kesehatan jiwa masyarakat (keswamas) untuk merumuskan kebijakan tingkat propinsi, memberi masukkan kepada Gubernur untuk koordinasi dan kebijakan operasional tingkat propinsi, menyusun program kerja jangka pendek, menengah dan panjang, mengklarifikasi dan memberikan masukkan kepada Gubernur dalam perumusan kebijakan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, serta merumuskan langkah-langkah kegiatan monitoring dan evaluasi tingkat propinsi. (HS-17).