AMBON, SPEKTRUM – Ukulele, alat musik tradisional asal Hawai, sudah dimainkan penduduk tradisional Maluku ratusan tahun, kini seakan punah digerus kemajuan alat musik modern dan bersaing dengan banyaknya gadget yang menawarkan berbagai permainan online. Anak-anak khususnya di perkotaan menjadi kecanduan gadget, apalagi ruang tempat bermain semakin berkurang karena pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota kurang mempertimbangkan adanya ruang terbuka hijau tempat anak-anak berinteraksi, bermain, mengembangkan pengetahuan tentang alam.
Ratusan tahun ukulele berkembang. Musik ini di Maluku, khususnya di Kota Ambon, hanya dijadikan pelengkap mengiringi tarian Katreji dan musik Hawaian. Dimainkan hanya oleh orang-orang tua saja. . Hal ini menantang Nico Tulalessy, seorang pemusik otodidak yang tinggal di negeri Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.
Di Queensland, Australia,saat ia diundang Kedutaan Australia, dalam program “Sustainability Ecotourism”, berkeliling mengunjungi enam kota, ia juga melihat kota-kota pariwisata di negeri Kanguru ada komunitas Ukulele, sama seperti orang-orang di Maluku. Ukulele dimainkan hanya oleh orang-orang tua saja.
Pulang di Ambon, ia tergerak dan mulai perlahan-lahan mengajari anak-anak dari usia 8 – 16 tahun. Awalnya, ada delapan anak di Amahusu yang diajarinya. Makin hari makin berkembang. Saat ini ada 160-an anak yang mulai belajar dan mencintai alat musik ini. Bahkan komunitas Ukulele ini menjadi satu-satunya komunitas musik terbesar di Indonesia.
Menurutnya, ada banyak manfaat bermain alat musik ini. Selain menyelamatkan anak-anak dari kecanduan gadget yang merusak mata, dari bermusik bersama juga menumbuhkan solidaritas, toleransi, kejujuran dan kesetiakawanan serta kedisiplinan. Anak-anak komunitas Amboina Ukulele Kids datang dari berbagai latar belakang sosial. Bermusik Ukulele, kata Tulalessy, terbukti nilai pelajaran anak-anak di komunitas ini makin cemerlang. Terlebih di masa pandemi ini, bermain musik menimbulkan efek sukacita, kegembiraan yang terbukti dapat meningkatkan imun tubuh. Sampai saat ini,meski berlatih rutin bersama, dengan mempertimbangkan protokol kesehatan, anak-anak komunitas Amboina Ukulele Kids, tidak satupun terpapar Covid-19.
“Tanpa sadar, berdampak pada kesehatan mata. Anak-anak tidak melihat gadget terus. Yang penting, hati senang. Hati senang, imun tubuh meningkat. Kebal terhadap Covid-19,” ujarnya.
Awalnya, bukan sesuatu yang mudah mengajak anak-anak bermain dan menyukai alat musik tradisional ini di tengah kemudahan bernyanyi menggunakan kecanggihan alat musik karaoke yang tinggal memencet tombol saja sudah bisa bernyanyi ria.
“Tantangan luar biasa membuat anak-anak milenial suka music Ukulele,” akuinya.
Ukulele, kata Tulalessy, juga berdampak bagi hubungan warga Australia-Indonesia karena adanya komunitas ini mendatangkan donasi. Ada sekitar 80 Ukulele hasil sumbangan pemerintah Australia. Demikian juga warga Selandia Baru dan pemerhati musik Maluku di Jakarta, turut menyumbang Ukulele sampai genap 160 unit.
Dari aspek pariwisata, Amboina Ukulele Kids menjadi daya tarik turis mancanegara karena dinilai unik. Banyak wisatawan datang ingin belajar dan bermain bersama anak-anak ini. Bahkan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy akhirnya juga tergerak menjadikan Ukulele sebagai pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Saat ini, SDN Amahusu, SMPN 11, Amahusu, SDN 1, 2 dan SDN 65 Kota Ambon sudah secara berkelanjutan memasukkan pelajaran musik Ukulele ini.
Bahkan di Kota Tual dan Maluku Tenggara juga menawarkan kerjasama untuk mengajar anak-anak sekolah di sana. (LEM)