Negara tak mampu menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat Negeri Kariu Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah yang terusir dari tanah yang diwariskan para leluhur akibat penyerangan membabi buta pada 26 januari 2022 lalu
AMBON, SPEKTRUM – Salah satu bentuk ketidakadilan yang dipertontonkan aparat keamanan atas tragedi Kariu adalah sejak penyerangan yang dilakukan warga Negeri Pelauw dan Ory, tidak ada satupun pelaku yang ditangkap, baik pelaku penganiayaan terhadap Junaidy Leatomu maupun para penyerang dan para penjarah negeri itu.
Yang paling mengejutkan adalah keputusan Polresta Ambon dan Pp Lease untuk menarik sebagian anggota dari Pos Pengamanan di Negeri Kariu.
Sumber Spektrum di Polres Ambon, menyebutkan adanya perintah penarikan anggota Polres Kota Ambon dan Pp Lease.
“Sebagian personil telah ditarik dan saat ini hanya tersisa 18 anggota polisi pada pos di Negeri Kariu,” kata sumber itu.
Padahal hingga saat ini masih terjadi penjarahan di rumah warga Kariu yang ditinggalkan pemiliknya..
“Ada 100 rumah warga yang masih berdiri, tapi barang-barang dalam rumah sudah tidak ada. Bahkan dengan leluasa, meteka memdatangkan pembeli besi tua dan menjual barang-barang milik orang Kariu, dan polisi tidak berdaya sama sekali,” kata sumber ini.
Menyikapi berbagai kejanggalan yang terjadi, Ketua Posko Tim Penanganan Tragedi Kariu, Piet Pattiwaelapia menegaskan, masyarakat Kariu akan kembali ke tanah leluhurnya.
“Kembali ke Negeri Kariu adalah harga mati, karena itu negeri kami, tanah itu milik Negeri Kariu,” tegasnya.
Pattiwaelapia juga mendesak agar polisi segera menangkap aktor intelektual pelaku penyeragan Negeri Kariu.
”Kami minta tindak cepat. Tetapi rekan pers sendiri tahu apa yang menjadi alasan Kepolisian bahwa sulit dapatkan saksi dan alat bukti. Apakah hanya itu kekuatan manajemen fungsi intelijen pihak berwajib ?” tanya dia.
Padahal, ingat dia, Kariu, jelas-jelas menjadi korban penyerangan dan pembakaran rumah oleh warga Pelauw. “Dari 26 Januari 2022 sampai saat ini belum ada penegakan hukum. Belum ada langkah hukum. Kami korban. Kami butuh keadilan sebagai warga negara termasuk wilayah hukum adat negeri Kariu,” terangnya.
Namun, tuding dia, negara sepertinya tunduk pada kekuatan kelompok tertentu. “Ini bukan konflik. Tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba kami diserang dengan seluruh perlengkapan bersenjata. Ini tindak pidana murni. Polri harus menangani. Kami dikagetkan diserang disisi Barat dan Timur. Kami ditembak masyarakat kemudian mengungsi,” tuturnya.
Ketika disinggung soal apakah warga Negeri Kariu akan menempuh upaya hukum, Pattiwaelapia menegaskan untuk saat ini pihaknya belum memikirkan hal itu.
“Negeri Kariu adalah Negeri Adat, dan lahan tersebut milik kami, pembuktian hukum adat maupun hukum normatif telah kami miliki, jadi kami belum berpikir ke arah itu,” katanya.
Sementara itu, Sekdes Kariu, Estevanus Leatomu memaparkan sejumlah bukti hukum dan sejarah bahwa sebagian dari Negeri Pelauw dan Dusun Ory adalah milik Negeti Kariu.
“Penggiringah opini oleh sekelompok orang bahwa masyarakat hukum adat Kariu, tidak memiliki hak kepemilikan atas petuanan dan negerinya adalah upaya pemutarbalikan fakta dan pembohongan publik yang melanggar hak asasi manusia yang melekat pada masyarakat Kariu,” kata Leatomu, saat konfrensi pers di Posko Posko Tim Penanganan Tragedi Kariu, Sabtu (12/03/2022)
Bahkan dalam pernyataan sikap Pemerintah Negeri Kariu yang diberi judul, “Eksistensi Petuanan Masyarakat Adat Negeri Kariu” yang ditandatangani Penjabat Pemerintah Negeri Kariu, Samuel Radjawane, menjelaskan soal kepemilikan lahan disertai sejumlah bukti otentik yang hingga saat ini masih bisa ditelusuri.
Pernyataan sikap yang dibaca, Leatomu tesebut menegaskan jika petuanan Negeri Kariu, adalah sah milik masyarakat hukum adat negeri Kariu, sesuai pendaftaran tanah-tanah dati pada tahun 1823 silam yang kemudian disalin dalam register dati tahun 1956.
”Salah satu fakta sejarah membuktikan tentang hak kepemilikan petuanan masyarakat hukum adat negeri Kariu, sejak masa Portugis, Belanda dan sampai sekarang adalah masih adanya reruntuhan Gedung Gereja lama Kariu, yang saat ini masih berdiri di pemukiman masyarakat Pelauw,” katanya.
Tak hanya itu, beberapa fakta hukum yang menegaskan hak kepemilikan tanah masyarakat hukum adat Negeri Kariu, yakni berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Ambon, Nor 85/1968-Prdt. Tertanggal 17 Agustus 1970, sesuai putusan Pengadilan Tinggi Maluku, Nomor 60/1970/PT/.Prdt. Tertanggal 21 Marer 1973, putisan Mahkamah Agung RI Nomor 674/K/Sip/1974 Tertanggal 11 Januari 1997.
”Diketahui bahwa Johanis Takaria (orang Kariu) telah menangkan gugatan terhadap hak kepemilikan bidang-bidang tanah yang ada di dalam pemukiman Pelauw sekarang ini. Semula dikuasai oleh Sukaha Latupono (orang Pelauw) dan Sup Alim Talaohu (orang Pelauw),”paparnya.
Buktinya, pada tahun 2010, lanjut dia, warga Pelauw, Rajak Sahubawa, membeli sebidang tanah milik ahli waris dari dua warga Kariu masing-masing Dominggus Radjawane, dan Frangki Radjawane di lokasi tanah yang dijual belikan di dalam pemukiman warga Negeri Pelauw.
“Bukti jual beli tanah dapat dilihat pada akta jual tanah,” tegasnya sambil menunjukan bukti akta penjualan tanah dimaksud.
Begitu juga, surat-surat dati milik masyarakat hukum adat Kariu, bahwa petuanan Ory, yang sekarang menjadi pemukiman masyarakat Dusun Ory, adalah milik dati masyarakat hukum adat negeri Kariu, yang disebut dati Ory.
”Berdasarkan register dati tahun 1823 yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat Negeri Kariu, kami tegaskan bahwa petuanan “Uwa Rual” sudah sejak lama milik masyarakat Kariu,” ingatnya. (HS-16)