Opini  

Membangun Ruang Dialog untuk Bangsa

Dinamika politik Indonesia terus diwarnai gejolak dalam beberapa tahun terakhir. Setelah panasnya Pilkada DKI Jakarta 2017, tensi tinggi politik berlanjut pada gelaran Pilpres 2019. Bergabungnya Prabowo Subianto dalam pemerintahan ternyata tak jua secara signifikan mendinginkan suhu politik Indonesia, karena terbukti dengan tumbuhnya gerakan ekstra parlementer dalam merespon beragam kebijakan pemerintah dan produk perundangan.

Diawali aksi massif menolak pengesahan RUU KPK dan RUU Minerba menjelang akhir 2019, gerakan jalanan kembali unjuk gigi lewat penolakan omnibus law cipta kerja pada Oktober 2020.

Aksi massa besar dari gerakan buruh dan mahasiswa menjalar di hampir semua kota di Indonesia selama sepekan. Ekspresi kemarahan terlihat dibanding aksi penolakan RUU KPK setahun lalu, setelah gelombang demonstrasi ini diwarnai banyak insiden kekerasan dan perusakan.

Aksi besar ini turut mendapat sorotan media internasional ditengah pandemi yang belum juga surut. Seturut dengan itu, munculnya Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) juga tak boleh ditepikan, sebagai realitas oposisi non parlemen yang niscaya bukan hadir dari ruang hampa, sebuah realitas yang perlu ditelaah secara mendalam agar turbulensi yang terus menerpa bangsa ini mendapatkan penawarnya.

Bangkitnya Politik Identitas, Efek Era Medsos, dan Pengaruh Geopolitik

Fenomena mutakhir politik Indonesia ini, menurut hemat penulis, merupakan buah dari tiga situasi yang secara paralel saling mempengaruhi dan memberi penguatan. Resonansi ketiga faktor ini niscaya akan mempengaruhi stabilitas politik Indonesia terlepas siapapun yang sedang berkuasa. Faktor berkuasa ini hanya akan mempengaruhi posisioning kelompok mana yang menjadi oposan, serta siapa yang memanen kritikan. Artinya, siapapun yang berkuasa, kusutnya panggung politik Indonesia bakal tetap terjadi.

Faktor pertama adalah munculnya gelombang pasang politik identitas di Indonesia. Meski politik identitas ini merupakan sesuatu yang historis dalam panggung politik Indonesia, namun mendapat momentum dalam Pilgub DKI 2017 yang dipenuhi isu SARA. Pemberlakuan demarkasi identitas dalam politik berlanjut dalam Pilpres 2019, ketika ruang publik dipenuhi diksi-diksi bermuatan kebencian dan disparitas ekstrem. Menariknya, kelompok moderat dan liberal seolah tenggelam dalam pengkubuan dari kompetisi politik yang head to head tersebut.

Tumbuhnya politik identitas sebenarnya merupakan fenomena global yang terlihat sejak referendum Brexit di Inggris tahun 2016, terpilihnya Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat tahun 2016, kemenangan Durtete pada pemilu presiden Philipina tahun 2016, serta munculnya Jail Bolsonaro memimpin Brazil pada 2018. Sejumlah penanda di atas memberikan gambaran pada kita betapa gelombang pasang politik identitas sedang melanda dunia, meski dengan pemilahan identitas yang berbeda, isu ultra nasionalis atau eksploitasi isu agama.

Faktor kedua adalah massifnya efek media sosial mempengaruhi kesadaran publik. Kehadiran media sosial seperti facebook, twitter, instagram dan lainnya seperti pisau bermata dua. Meski di satu sisi mengakselerasi akses masyarakat atas informasi, namun di sisi lain membuat mis-informasi, disinformasi dan hoax membanjiri ruang publik. Mekanisme spotting, zooming, lalu framing merupakan metode reproduksi isu sederhana yang teramat mudah menyesatkan masyarakat lewat informasi sepotong yang terkadang belum tentu mewakili kenyataan sesungguhnya.

Bisa dibayangkan jika reproduksi isu di media sosial ini memanfaatkan sentimen politik identitas, mengingat pengaruhnya dapat menyasar semua kelas ekonomi dan pendidikan, efeknya bagi seorang berpendidikan tinggi atau hanya pendidikan dasar bisa serupa. Isu SARA misalnya, akan lebih cenderung menuju otak kanan manusia dimana emosi dan imajinasi berada. Artinya, mis-informasi dan hoax yang terus-menerus memborbardir ruang publik, seperti prinsip propaganda Joseph Goebbels, lama-lama akan diyakini sebagai kebenaran.

Sementara ketiga adalah faktor geopolitik yang sangat mempengaruhi negara dunia ketiga seperti Indonesia. Pergeseran ekonomi dan politik dunia, dimana pengaruh Tiongkok sebagai raksasa baru ekonomi dan militer mempengaruhi banyak kawasan termasuk di Asia Tenggara. Kuatnya ekspansi ekonomi Tiongkok menyebabkan rebutan pengaruh terjadi dengan kekuatan neo kolonialisme barat yang lama mendominasi. Terbukanya hubungan Indonesia-Tiongkok sejak era Gus Dur, membuat relasi ekonomi kedua negara semakin erat pada kepemimpinan Megawati dan SBY serta mencapai puncaknya di masa Jokowi.

Pergeseran meja diplomasi ekonomi dan politik itu seolah menemukan relevansinya dikarenakan tekanan ekonomi yang melanda dunia barat sejak tahun terakhir pemerintahan SBY. Tiongkok yang ekspansif dan pemerintahan Jokowi yang ambisius dalam pembangunan infrastruktur menjadi sorotan, meski secara prinsip, kerjasama ekonomi dengan negara manapun niscaya menimbulkan konsekuensi, tidak dengan negara barat maupun kapitalisme timur seperti Tiongkok ataupun Korea.

Perebutan pengaruh geopolitik itu tidak hanya dirasakan Indonesia, sejumlah negara sekawasan seperti Thailand, Malaysia, Vietnam hingga Philipina turut merasakan efeknya. Ketidakstabilan politik yang kini melanda Thailand dan Malaysia, serta kebingungan Presiden Durtete menentukan arah aliansi disinyalir cukup dipengaruhi konstelasi geopolitik dunia yang kian bergeser. Sebagai negara yang menerapkan prinsip luar negeri bebas dan aktif, keseimbangan meja diplomasi merupakan keniscayaan, agar bangsa ini berkawan dengan semua bangsa dan dapat memilah kepentingan terbaik yang ditawarkan dalam bekerjasama.

Membuka Sumbatan Ruang Dialog

Mengerasnya ruang politik sejatinya menunjukkan tersumbatnya ruang dialog di antara elit. Komunikasi politik yang terjadi boleh jadi parsial sehingga gagal mengurai perbedaan pandangan dan kepentingan. Padahal dalam dialog, diperlukan rasa saling percaya dan menghargai perbedaan, sehingga memungkinkan terjadinya elaborasi sebagai titik temu. Terjadinya elaborasi di wilayah non prinsipil ini tentu harusnya lebih dimungkinkan, mengingat hal-hal prinsipnya telah digariskan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Kebuntuan komunikasi elit tentu tidak boleh dibiarkan, karena orientasi politik yang berhadapan amat berpotensi menggoyahkan kesatuan dan persatuan bangsa. Lebih jauh lagi, ketegangan dapat berwujud di akar rumput, ketika rakyat mudah terbelah, berbenturan, dan bermusuhan. Mutlak diperlukan sense of chaos, sebuah kehati-hatian, betapa teramat mungkin adanya kelompok kepentingan yang tidak menghendaki Indonesia menjadi bangsa yang besar dan maju.

Kebuntuan dialog mesti diurai segera, bermodalkan kelapangan hati dan kedewasaan para pemimpin, sebuah komunikasi tulus yang diletakkan semata bagi kepentingan bangsa dan negara, guna mendialogkan perbedaan pandangan dan kepentingan. Sikap kenegarawanan elit ini tidak saja akan menenangkan rakyat, namun dapat mengokohkan ulang relasi sivil society dengan negara, umat beragama dengan pemerintah, serta tentu saja membuat para pembajak dan proxy kepentingan bakal gigit jari. Wasllahu a’lam bish-shawab. (*)

Penulis : Ton Abdillah Has, mantan Ketua Umum IMM dan Inisiator Gerakan Hikmad Kebijaksanaan