AMBON, SPEKTRUM – Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, mengupayakan percepatan proses legalisasi hutan adat untuk masyarakat adat, baik di Papua dan Maluku.
Khusus untuk Maluku sendiri, sesuai peta indikatif, terdapat sekitar 80.000 hektar luas hutan dibeberapa Daerah di Maluku yang bisa ditetapkan sebagai hutan adat, salah satu lokasinya di Pulau Haruku.
“Dan itu belum ada ketetapan dari Pemerintah daerah, karena salah satu syarat untuk menjadi hutan adat itu harus ada Perda terkait dengan masyarakat hukum adatnya.Setelah itu baru bisa kita tindaklanjuti dengan penetapan hutan adat. Sebenarnya banyak kriteria menyangkut hutan adat, salah satunya itu yang belum terpenuhi, sehingga menjadi kendala,” kata Kepala Belai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Maluku Papua, Yusup, kepada Spektrum, di lokasi pelaksanaan Rakor, The Natsepa, Ambon.
Dengan melibatkan Universitas, Pemda, Bappeda, Biro Hukum, DPRD, masyarakat adat dari Kabupaten yang wilayahnya memiliki hutan adat, pihak kementrian melakukan Rapat Koordinasi (Rakor) Regional dalam rangka Percelatan Hutan Adat.
Rakor ini, untuk mensinkronkan dan melaraskan dari berbagai pihak bertujuan meningtkan hutan adat yang ada di Maluku dan Papua.”Karena selama ini hutan adat yang ada di 2 daerah ini cukup besar.
Tapi sampai saat ini, belum ada satupun yang ditetapkan sebagai hutan adat oleh pemerintah RI. Untuk itu, kami mendorong dari berbagai pihak, baik itu dari akademisi maupun masyarakat adat untuk sama sama kita mencari solusi dan memecahkan masalah apa yang selama ini dihadapi. “Kita berharap hutan adat ini segera terlaksana diwilayah Maluku Papua,”ujarnya.
Dari hasil diskusi, kata dia, banyak yang mengemuka terkait kendala. salah satunya di masyarakat adat Haruku, dimana masyarakat adatnya itu berada di dua wilayah, yakni Malteng dan SBB, sehingga dibutuhkan persetujuan Depdagri soal penetapan lokasinya.
“Saat ini kita masih minta persetujuan dari Depdagri terkait lokasinya. Karena masyarakat adat berharap secepatnya. Mereka bahkan mengaku sudah menunggu in puluhan tahun, dan mereka hanya dijanjikan,”katanya.
Soal manfaat, Yusup mengemukakan, ada ketetapan hukum, sehingga masyarakat adat mempunyai hak kelola wilayah hutan adatnya. Namun, pengelolaannya tetap sesuai porsi hutan itu sendiri. Baik hutan produksi, hutan lindung dan lainnya.
“Artinya, dikelola tidak semena mena kemudian melakukan penebangan secara illegal. Tidak bisa,” tegasnya. (S-01)