PADA 18 tahun silam (2002), lembaga penegakkan hukum khusus tindak pidana korupsi berdiri di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namanya. Institusi penegak hukum ini didirikan bertujuan untuk meningkatkan daya guna, dan hasil guna dalam upaya pemberantasan korupsi di bumi Indonesia.
Mengapa KPK harus lahir di Negara ini? Jawaban umum, karena ada ketidakpuasan publik Indonesia termasuk Maluku terhadap upaya pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan dan Kepolisian, sejak keberadaan negara ini.
Sebagai lembaga penegak hukum yang otonom di negara ini, eksistensi dan peranan KPK sudah barang tentu, tidak boleh di intervensi oleh kekuasaan manapun.
Sekarang, nampak ada yang beda dengan visi berdirinya lembaga superbodi tersebut. Salah satunya, perangkat atau para abdinya justru ada kesan di dominasi oleh anggota Polri dan Kejaksaan. Ini perlu di tinjau kembali.
Kalau bicara pemberdayaan sumber daya manusia khusus di KPK, bila anggota Polri dan Kejaksaan tetap dipekerjakan di disitu (KPK), sadar atau tidak, mereka ikut menyumbang angka pengangguran untuk negara.
Para anggota Polri dan Kejaksaan sebaiknya di kembalikan ke institusi masing-masing, agar diberdayakan oleh lembaga mereka. Sederhananya, institusi Kepolisian dan Kejaksaan, juga memiliki tugas mengusut atau menangani kasus/perkara tindak pidana korupsi.
Hemat saya, kedepan rekrutmen pimpinan hingga penyidik KPK tidak perlu ada lagi unsur atau elemen Polri dan Kejaksaan. Sebab masih ada banyak ahli hukum dan sarjana hukum nganggur di negeri ini yang bisa direkrut untuk mengabdi/dipekerjakan di tubuh KPK. Kiblatnya, tetap merujuk ke UU Nomor 30 Tahun 2002.
Untuk itu “negara” mestinya memanfaatkan dan memberikan ruang kepada mereka (pakar hukum dan sarjana hukum yang masih nganggur) itu, untuk bisa mengabdikan diri pada Komisi Anti Rasuah tersebut. Semangat dan tujuannya tak lain adalah membasmi, menumpas gerakan koruptor di bumi nusantara ini.
Tugas KPK bukan sibuk pencegahan. Penindakan merupakan tugas prioritas. Publik telah membantu melaporkan kasus! Maka sebagai responsifnya, aparatur KPK wajib memproses lanjut dengan jalan melakukan penindakan. Bukan sebaliknya, KPK dijadikan laksana “objek selfie pencegahan”.
Musuh terbesar negara ini adalah korupsi. Sepatutnya praktik pemberantasan diaktualisasikan dengan cara menindak kaum korup itu. Hindari konflik kepentingan di tubuh KPK.
Penegakan supremasi hukum harus ditanamkan dalam palung hati, serta patut dijadikan sebagai pengarah jalan bagi insan KPK itu sendiri. Dalam mengemban tugas selaku abdi negara, aparatur KPK mulai pimpinan hingga penyidik harus secara nyata dan berlaku adil menegakan hukum.
KPK dilahirkan oleh negara untuk menumpas korupsi yang dipahami sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinery). Bukan Komisi Pencegahan Korupsi. Jika pencegahan di kedepankan, maka ada baiknya KPK dibubarkan saja. Pencegahan boleh dilakukan, tapi di fokuskan ke internal (kelembagaan). Ini untuk menjaga aparatur KPK tidak di intevensi oleh siapa pun dalam konteks penanganan kasus atau perkara korupsi.
Lembaga KPK bukan objek selfie. Sebab berbicara pemberantasan korupsi, yang harus gencar dilakukan adalah penindakan yang merupakan “jalan tengah” seperti visi Komisi Anti Rasuah ini didirikan oleh negara, tugasnya menumpas gerakan koruptor.
Menghitung penanganan kasus bukan tugas KPK. Kerja KPK prioritas adalah menindaklanjuti setiap laporan atau aduan kasus korupsi yang disampaikan oleh Warga Negara Indonesia termasuk dari Provinsi Maluku.
Disini, moralitas insan KPK diuji soal kejujuran dalam menangani setiap kasus atau perkara korupsi. Untuk mewujudkan supremasi hukum yang berkeadilan terhadap siapapun Warga Negara Indonesia, butuh awak KPK yang punya integritas serta niat suci dalam mengemban tugas mulia selaku abdi negara.
Sikap tebang pilih harus ditiadakan. Jika seluruh perangkat KPK bekerja dengan jujur, maka indeks korupsi di negara ini akan bisa ditekan turun, dan selebihnya korupsi, bisa musnah di bumi Indonesia. Semoga…!! (*)
/Penulis adalah Pemimpin Redaksi Harian Spektrum