AMBON, SPEKTRUM – Kejaksaan Negeri Masohi menyelidiki dugaan korupsi pada proyek Padat Karya Penanaman Mangrove 2020. Proyek ini milik Balai Pengelolaan Lingkungan Aliran Sungai (BPLSDA) di Maluku. Proyeknya diduga gagal.
Hanya 5 persen bibitnya bisa bertahan hidup. Sampai di tangan masyarakat, bibit ini sudah tak bisa dipakai lagi. Jaksa menduga ada kesengajaan. Pengadaan tak sesuai petunjuk teknis, hingga negara dirugikan.
Ada tiga kabupaten di Maluku yang mendapatkan alokasi bantuan proyek dengan model padat karya ini. Maluku Tengah, Kota Tual dan Seram Bagian Barat. “Semuanya gagal. Karena mati hampir 90 persen bibitnya,” kata sumber Spektrum.
Di Malteng, Kejari Masohi Mencium ketidakberesan itu. Mereka mulai menyelidikinya. Lokasi Padat Karya Penanaman Mangrove yang masuk dalam proyek gagal di Malteng, ada Desa Kobisonta, Desa Samal, Desa Masihulan, Desa Amahai, Desa Haruku Samet dan Desa Ihamahu.
“Hingga kini belum ada tersangka sebab rapat atau expose penentuan tersangka merupakan kewenangan Kejati Maluku,” kata sumber tersebut.
Sumber ini menjelaskan, bibit mangrove yang ditanam pada program Padat karya tersebut hanya memiliki peluang hidup 5 persen.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) I pada proyek tersebut, Ketut Wiyarta kepada Spektrum, Selasa (21/09/2021) menepis, informasi kalau proyek Padat Karya Penanaman Mangrove gagal.
“Kalau dibilang gagal saya tidak sependapat sebab setiap tanaman yang ditanam, pasti ada yang mati tidak pasti hidup seluruhnya. Kalau yang ditanam 1000 pohon lantas hidup hanya 550 pohon itu sudah sangat bagus,” kata Ketut.
Menurutnya, kontrak kerja yang dilakukan pihaknya sesuai juknis pelaksanaan yakni memfaslitasi masyarakat lakukan penanaman, mulai dari pembersihan lahan, ditanam, dikelola dan dipelihara masyarakat.
“Kita membayar apa yang dikerjakan masyarakat. Terkait keberhasilan dan pemeliharaan. Selanjutnya menjadi tanggungjawab masyarakat untuk memeliharanya karena telah menjadi hak pengelolaan masyarakat,” katanya.
Ketut menegaskan, jika ada tanaman yang gagal atau mati maka menjadi kewajiban kelompok untuk menanam kembali. Dia menambahkan, untuk pemeliharaan tidak dibiayai sepenuhnya menjadi kegiatan masyarakat.
Penanaman mangrove, kata dia, merupakan program Presiden RI, Joko Widodo untuk menumbuhkan ekonomi di masyarakat bawa. Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tidak diperkenankan memberikan uang tunai. Karena itu, diberi bantuan yang ada timbal baliknya kepada lingkungan.
“Maka dipilih kegiatan Padat Karya Penanaman Mangrove. Di tahun 2020 Maluku peroleh alokasi anggaran untuk 100 hektar,” jelasnya.
Namun lanjut Ketut, alokasi lahan dan anggaran tersebut dioptimalkan menjadi 134 hektar atau surplus 34 hektar.
“Untuk itu kami libatkan 428 masyarakat di sekitar lokasi dengan system pembayaran via rekening dari pemerintah langsung ke masyarakat orang per orang melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI),” katanya.
Keputusan Pempus untuk mentransfer dana tersebut, langsung ke masyarakat pekerja guna meminimalisir terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Dia menegaskan lagi, ini kegiatan Padat karya. Karena kondisi pandemik, masyarakat diberi kegiatan supaya ada nilai tambah penghasilan bagi masyarakat. Dibayar per tahap.
“Misalnya tahap I dibayar 40 persen sesuai aturan swakelola untuk modal kerja. Setelah ada kemajuan pekerjaan. Maka dana ditambah sebanyak 30 persen. Jika pekerjaan telah mencapai lebih dari 50 persen, telah selesai baru dilunasi sisanya. Pembayaran dilakukan melalui transfer rekening masyarakat,” ulangnya.
Seluruh masyarakat yang terlibat pada kegiatan tersebut dibuatkan rekening tanpa kecuali. (HS-16)
Tanaman mangrove itu kalau sudah tanaman jarang yang mati karena sudah ada pada habitat aslinya, kalau di persemaian di biarkan saja begitu tidak terawat pasti anakan tersebut mengalami stress sehingga bisa mati.