AMBON, SPEKTRUM – Komite Palang Merah Internasional (KPMI) atau International Committee of the Red Cross (ICRC), menghimpun berbagai jenis kearifan lokal di wilayah Maluku untuk dikembangkan dalam modul pengajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan.
Pengumpulan kearifan lokal dan tradisi Maluku dilaksanakan dalam Rapat Kerja Internal “Diskusi dan Eksplorasi Nilai-Nilai Agama dan Adat untuk Proyek Nilai-Nilai Kemanusiaan” di Universitas Pattimura Ambon, Senin, (17/02/2020).
Rapat kerja dilaksanakan usai seminar nilai nilai kemanusiaan ini, dihadiri Kepala Delegasi ICRC Indonesia dan Timor Leste Alexandre Faite, Penasehat Hukum ICRC Jenewa Ahmed Aldawoody, akademisi, pakar, tokoh agama, adat dan masyarakat di Ambon.
“Program yang baru dirintis. Kami merasa lebih penting kalau tidak hanya ditopang oleh hukum internasional tapi juga oleh kearifan lokal dan adat-istiadat yang relevan,” kata Kepala Delegasi ICRC Indonesia dan Timor Leste Alexandre Faite.
Dikatakannya, ICRC membutuhkan lebih banyak masukan terkait tradisi dan budaya Maluku yang berkaitan dengan kemanusiaan, khususnya 10 nilai kemanusiaan berbasis hukum humaniter internasional, guna dikembangkan dalam modul pengajaran.
Karena adat istiadat lokal dan nilai-nilai agama sebagai konteks ke-Indonesia-an yang relevan akan semakin memperkuat nilai-nilai kemanusiaan yang telah dirangkum oleh ICRC.
Studi Roots of Restraint in War (Akar Pengendalian Diri dalam Perang) yang dilakukan ICRC menunjukkan bahwa di luar badan-badan terstruktur yang didirikan oleh negara, seperti angkatan bersenjata dan pasukan keamanan, individu lebih dipengaruhi oleh norma-norma yang memiliki referensi terkait yang telah divalidasi oleh komunitas mereka.
Norma-norma sosial dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk adat istiadat dan agama setempat. Di banyak negara, ada interaksi antara kedua hal tersebut.
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam suku dan agama, memiliki kekayaan tradisi yang relevan dan berasal dari warisan budaya. Unsur-unsur adat seperti, penghormatan terhadap lawan seseorang, martabat wanita, dan lain-lain akan disertakan dalam modul.
“Kami di sini bukan untuk mengajar saja tapi juga untuk belajar apa kira-kira kearifan lokal dan adat Ambon yang berkaitan dengan hukum humaniter internasional, misalnya perlindungan terhadap martabat seksual dalam adat lokal apakah sudah ada atau tidak,” ucap Alexandre.
Sebelumnya ia juga mengatakan terkait dengan prinsip-prinsip agama, Islam akan menjadi acuan utama mengingat Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, tetapi unsur-unsur agama lain juga akan menjadi acuan.
“Kami baru mulai di Ambon, nanti akan ke Kalimantan dan juga Sumatera. Kami mendengar adat Minangkabau sangat luas juga jadi kami mau menggali sedikit bagaimana adat di sana, apakah ada pertautan dengan adat di sini dan daerah lainnya,” ujarnya. (*/ANT)