Ferry Tanaya Dititipkan di Rutan Ambon

Fery Tanaya

AMBON, SPEKTRUM – Ferry Tanaya, tersangka dalam kasus dugaan korupsi penjualan lahan pembangunan PLTMG 10 MV Tahun 2016, di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, akhirnya resmi diserahkan ke Penuntut Umum Kejati Maluku oleh Penyidik, Senin (26/4/21), dan dititipkan di Rutan Ambon.

Usai penyerahan Tahap II, Ferry Tanaya langsung ditahan oleh Jaksa selama 20 hari kedepan di Rutan Kelas IIA Ambon.

Dengan menggenakan rompi merah, Tanaya bersama rekannya, Abdul Gafur Laitupa dihantar menggunakan mobil tahanan menuju hotel prodeo.

Dalam proses Tahap II itu, Tanaya yang sering disebut cukong kayu di Pulau Buru itu didampingi pemgacaranya, Henri Lusikooy. Sementara, mantan Kepala Seksi pengukuran BPN Namlea, Abdul Gafur Laitupa, didampingi Rosa Nukuhehe selaku pengacaranya.

“Kasus ini sudah bergulir sejak tahun 2018 setelah proses panjang, akhirnya sudah dirampungkan penyidikannya oleh penyidik, dan sudah diserahterimahkan ke Kejari Buru untuk selanjutnya melakukan penahanan selama 20 hari di rutan Ambon,”jelas Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku, Rorogo Zega dalam keterangan persnya, di kantor Kejati Maluku, Senin kemarin.

Dalam keterangan persnya, Kejati dengan tegas mengatakan, Tanaya tidak memiliki hak menerima ganti rugi pada bidang tanah dikawasan itu. Hal itu karena, status tanah adalah tanah Erfpacht dengan pemegang hak Almarhum Zadrach Wakano.

“Pemegang hak atas nama Zadrach Wakano yang meninggal di tahun 1981 yang selanjutnya di tahun 1985 di buat transaksi oleh ahli waris dari Z Wakano kepada FT. Ketentuan UU tanah Erfpacht tidak bisa dipindah tangankan baik kepada ahli waris atau pihak lain. Setelah pemegang hak meninggal maka selesai sudah hak atas tanah itu dan dikembalikan haknya ke negera, karena yang berhak menkonfersi tanah tersebut hanya pemegang hak, tidak bisa dikonfersi oleh orang lain,” ujar Kajati.

Berdasarkan ketentuan itu, maka transaksi jual beli Ahli Waris Wakano dan Tanaya batal secara hukum, sehingga status tanah tersebut tidak beralih ke Tanaya.

“Kita mengikuti perintah undang undang dan FT tidak memiliki hak untuk ganti rugi bidang tanah seluas 48.645 meter persegi senilai Rp.6.081.722.920. Sebenarnya ada batas waktu 20 tahun dari tahun 1960 sejak undang undang pokok Agraria untuk lakukan konfersi artinya hak itu selesai di tahun 1980 dan pemilik hak sudah meninggal sehingga tidak dapat diwariskan, Tanah ini sudah dikuasai negara kemudian dijual, otomatis transaksi ini tidak bisa dibenarkan atau batal secara hukum,” jelas Kejati. (HS-19)