Opini  

Dilema Moral, Penerapan PSBB, dan Wajah Baru Kehidupan

KRISIS demi krisis selalu datang menghantui kita semua. Sejak kita buka mata dan mulai berpikir mencerna situasi sekarang ini. Seolah-olah [dan memang faktanya demikian] krisis itu datang menyerang kita pada beberapa level kehidupan dengan berbagai bentuk rupa.

Adakalanya, krisis itu datang dalam bentuk moneter, menyerang level kehidupan sosial dan aktivitas kebudayaan, tiba-tiba lumpuh dan mengalami resesi. Juga dalam bentuk biologis, berupa virus, melumpuhkan aktivitas ekonomi dan politik. Dari setiap krisis, perlahan mendorong kita belajar dan terus belajar mencari solusi terbaik untuk mengatasinya.

Beberapa kali kita melakukan uji coba eksperimen kehidupan untuk mengatasi krisis itu, dan berhasil, sehingga patut diacungi jempol. Namun, adakalanya juga gagal, membuat kita “gigit jari”, akhirnya eksperimen terus kita lanjutkan dengan metode yang lain.

Krisis yang terjadi saat ini, masalah pandemi covid-19, bukan kejadian baru. Dulu, pada dekade 1330, tercatat dalam sejarah, wabah yang disebut “maut hitam” juga terjadi. Kejadian ini bermula di Asia Timur atau Tengah, bakteri Yersinia Pestis mulai menginfeksi manusia yang digigit kutu. Dari sana wabah dengan cepat menyebar ke seluruh kawasan Asia, Eropa, Afrika Utara, bahkan dalam kurun waktu dua tahun mencapai pesisir Samudera Atlantik.

Yuval Noah Harari, ahli sejarah biologi, mencatat dalam bukunya Homo Deus, mengatakan bahwa antara 75 sampai 200 juta orang mati pada waktu itu. Di Inggris, selama krisis pandemi itu merebak, populasi mereka susut dari 3,7 juta menjadi 2,2 juta jiwa. Sungguh, krisis yang paling mengerikan dalam catatan sejarah dunia.

Ketika krisis pandemi kembali muncul, dengan wajah yang berbeda, covid-19, kita tiba-tiba kaget. Bagaimana mungkin, virus itu bisa “jalan santai” dari Wuhan sampai ke pelosok negeri pulau Saparua, satu pulau kecil dalam peta Indonesia hanya berupa titik tebal. Kejadian aneh di luar dugaan umat manusia. Krisis flu burung saja tak sampai ke Maluku. Ebola juga tidak. Tiba-tiba virus covid-19 ini muncul di Maluku, kejadian yang luar biasa sekaligus mengerikan.

Krisis yang datang secara tiba-tiba itu sangat membenarkan pernyataan Prof. Melsen, filsuf Belanda ternama, dalam bukunya Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita, mengatakan bahwa masa depan memang sulit kita prediksi [dengan kalkulasi sempit – tambahan penulis]. Seharusnya, sebelum pandemi ini meledak dari Wuhan, para ilmuwan sudah harus bersatu sejak awal untuk memprediksi munculnya gejala krisis itu dan cepat ambil sikap mengatasinya. Interkoneksi ilmu baik dari ilmuwan sosial, psikologi, biologi, dan teknologi harus bersatu dalam satu tarikan nafas bersama untuk memprediksi dan mengatasinya.

Namun, faktanya, interkoneksi itu belum terjadi, bahkan sampai sekarang ini. Setiap ilmuwan bergerak sendiri-sendiri, dengan ego keilmuannya masing-masing. Semua mau ambil peran sebagai “pahlawan nomor satu” yang pantas menyelesaikan krisis tersebut. Apa yang terjadi sekarang ialah pandemi semakin merebak dan belum selesai sampai detik ini.

Sekarang, para ilmuwan sedang berada di tubir moral, antara mau bersikap utilitarianis atau deontologi etis. Yakni, dilema, mau bertindak memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan agar tercipta situasi bahagia bagi semua orang, atau bertindak atas dasar tanggungjawab baik-buruk terlepas seberapa jauh konsekuensinya.

Dilema moral itu tak hanya menyentuh sisi psikologis para ilmuwan, namun juga dialami oleh para pengambil kebijakan. Jika target dari setiap kebijakan di dasarkan atas pertimbangan utilitarianis, maka nilai perbuatannya bisa salah-kaprah. Di sinilah muncul sikap agresif sekaligus represif dari para pengambil kebijakan, melalui tangan-tangan penegak hukum bagian keamanan, yang penting semua bahagia. Artinya, kebijakan itu tidak menyelesaikan persoalan, malah akan menambah masalah baru di tengah-tengah masyarakat.

Namun, jika dilema moral itu di dasarkan atas pertimbangan deontologi etis, maka nilai perbuatannya akan sangat di pikirkan secara lebih matang. Tentu, tindakan yang di pilih ialah tindakan kemaslahatan, terlepas hasilnya bahagia atau tidak bagi semua orang. Yang penting, tindakannya bernilai baik. Artinya, kebijakan yang dikeluarkan di dasarkan atas perbuatan baik, tidak peduli masyarakat mau bahagia atau tidak. Terkait kedua dilema moral ini, utilitarianis atau deontologi etis, akan sangat terasa saat mulai diterapkannya PSBB oleh pemerintah kota Ambon kedepannya. Semoga tidak terjadi apa-apa.

Memang, pandemi covid-19 telah menyentuh beberapa level kehidupan, dan merubah semua agenda yang sudah dikonsepkan sejak awal. Bagaikan Jailangkung, datang tak di jemput, pulang tak di antar. Sulit di prediksi, dan membuahkan dilema moral tersendiri ketika kita ingin mengambil keputusan cepat memotong mata rantai penyebarannya. Meskipun demikian, kita harus banyak bersyukur, karena dengan hadirnya covid-19 memberi kita pelajaran terkait fokus berpikir dan sikap moralitas demi wajah kehidupan yang lebih baik di masa depan. Artinya, ada secercah harapan bahwa hidup ini masih terus berlanjut.

Fokus berpikir ini sangat terasa ketika kita mulai mencari tahu hal yang paling fundamental dari masalah covid-19. Fokus berpikir dalam istilah Siegel, filsuf sekaligus ahli astrofisika ternama, ialah berupa “sains dasar”. Artinya, kita mulai mencari tahu esensi dari masalah covid-19 ini sehingga di masa depan kita dapat mengatasi beberapa pandemi yang kemungkinan bakal terjadi lagi. Seperti kejadian di masa lalu, ketika kita mulai tergugah dengan temuan fisika kuantum, maka kita mulai membuat alat diagnosis supercanggih menggunakan Sinar-X di masa dapan.

Artinya, temuan yang didasarkan pada fokus berpikir ini akan menjadi alat prediksi “sekali pakai” di sepanjang kehidupan umat manusia. Gampangannya, melalui fokus berpikir pada masalah pandemi covid-19 ini, maka kita dapat mengetahui inti masalah dari pandemi, sehingga ketika beberapa pandemi muncul di masa depan kita dapat mengatasinya lebih cepat. Inilah satu sisi dari wajah baru kehidupan kita di masa mendatang.

Di sisi lainnya, secara historis, pandemi telah memaksa kita putus dengan masa lalu dan membayangkan dunia yang baru.

Dalam istilah Arundhati Roy, novelis terkenal asal India, ialah pandemi sebagai portal kehidupan, suatu pintu gerbang di antara satu dunia dengan dunia berikutnya. Kalau dulu kita sering punya perilaku jorok yakni “jarang” cuci tangan setelah beraktivitas, maka saat ini dan kedepannya perilaku jorok itu lambat-laun akan kita tinggalkan.

Ayah saya hampir setiap hari cuci tangan setelah beraktivitas di luar rumah. Perubahan yang sangat luar biasa. Artinya, pandemi covid-19 telah memberi wajah baru tersendiri bagi kehidupan kita di masa mendatang. (*)