AMBON, SPEKTRUM – Nama Muhammad Franky Gaspary Thiopelus alias Kipe menjadi tranding topik pembicaraan masyarakat Kota Ambon, setelah terungkap rekaman pembicaraan 16,26 menit antara staf honorer Biro Umum Setda Maluku dengan Ketua Asosiasi Pasar Mardika Ambon (APMA).
Dalam pembicaraan tersebut terungkap jika pengelolaan Pasar Mardika dilakukan PT Bumi Perkasa Timur (BPT) milik Kipe.
Bahkan dalam menjalankan aktivitas di Pasar Mardika, pedagang sering diintimidasi oleh oknum staf PT BPT
Diduga kuat pihak PT BPT menunjukkan fokus penetrasi pada bangunan yang dibangun menggunakan uang pedagang yang diberikan secara mencicil, dan telah diikat dalam akta jual beli dihadapan notaris Arnasyah Ahadiah Pattinama, SH nomor 48/18/Sirimau /JB/1997.
Pedagang atau pemilik ruko, mengaku diintimidasi dengan cara ruko mereka disegel, digembok dan sebagainya, padahal masih ada gugatan perdata masih tetap berjalan pada tahap kasasi.
Hendro Waas kuasa hukum pedagang Pasar Mardika kepada wartawan, Jumat (09/09/2022) menjelaskan, selama ini Pemerintah Provinsi Maluku sama sekali tidak memberikan rasa aman kepada para pedagang ruko yang menggunakan dan atau mendiami ruko di kawasan Pasar Mardika.
Pengakuan pedagang ruko di kawasan tersebut kerap kali diperhadapkan dengan sejumlah intimidasi dan tekanan yang dilakukan oknum oknum tertentu yang diduga adalah preman.
Motif mereka agar para pedagang ruko diminta untuk tetap melakukan sewa sesuai dengan jumlah ketentuan yang ditentukan PT BPT.
Untuk memuluskan langkah mereka menguasai pedagang, maka PT BPT terus melancarkan aksinya, salah satunya dengan menyegel ruko.
Dalam setiap aksi premanisme, muncul nama Mo Marasabessy yang secara sepihak dan arogan bertindak atas nama PT. BPT melakukan penyegelan dan penutupan toko toko di Mardika.
Penyegelan sepihak yang dilakukan PT PBT telah dilaporkan ke Polda Maluku sesuai nomor laporan, STTLP/378/VIII/2022/SPKT/POLDA MALUKU tanggal 24 Agustus 2022. Laporan ini diterima dan ditandatangani oleh Bripka Endo Soumokil, dengan terlapor Mo Marasabessy, pegawai PT. BPT.
“Kami menduga praktik intimidasi masih terus terjadi, bahkan kami sudah melakukan laporan beberapa kali ke Polda Maluku,” terangnya.
Waas menegaskan, bentuk intimidasi dan sikap arogan oleh pihak PT BPT adalah tindakan yang tidak bisa dibiarkan.
Hal mana kata Waas, pihak PT BPT yang juga perpanjangan tangan Pemerintah Provinsi Maluku haruslah tunduk pada proses hukum yang kini ada pada tingkat kasasi setelah masalah ini di bawa ke rana lembaga peradilan.
Senada dengan itu, pemilik ruko atau toko Olaf Saputan kepada wartawan juga menegaskan, bahwa sikap perlawanan dari pedagang ruko atau toko di Mardika memiliki dasar yakni Sertifikat Hak Milik (SHM) dan SHM tersebut diakui keberadaanya oleh Kantor Pertanahan Nasional di Ambon.
“Kami memiliki sertifikat hak milik, termasuk Surat Hak Guna Bangunan, yang diakui lembaga negara, namun kenapa selalu kami diintimidasi oleh pihak PT BPT,” tegasnya.
Saputan menjelaskan dalam posisi perkara perdata di lembaga peradilan, pihak PT BPT adalah pihak tergugat, mestinya mereka menunggu hasil putusan pengadilan dengan tidak melakukan aktifitas meresahkan.
Sementara itu, Naftali Hatulely SH anggota tim kuasa hukum pedagang, menerangkan, dalam proses perdata pihaknya bakal melakukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait mekanisme pelelangan yang bertentangan dengan keputusan presiden (KEPPRES) nomor 80 tahun 2003 juncto KEPPRES nomor 16 Tahun 2018 tentang kualifikasi peserta lelang khususnya pada pasal 50 dan 51.
“Sesuai berita acara tender antara pemerintah Provinsi Maluku ada praktik mafia dan konspirasi karena terdapat keanehan karena dokumen berita acara lelang tidak mencantumkan nama peserta lelang,” katanya tegas.
Dia menekankan adanya keanehan, karena berita acara tidak mencantumkan nama peserta lelang, dan proses pelelangan dilakukan beberapa kali semuanya batal dengan alasan tidak memenuhi kualifikasi.
Padahal perusahan yang mengikuti lelang hanya satu yaitu PT BPT yang kemudian ditunjuk (mekanisme penunjukan) untuk mengelola pasar yang awalanya sudah melakukan penjualan atas bangtunan ruko ke parah pedagang dan telah diterbitkan sertifikat hak milik dan hak guna bangunan berdasarkan surat hak penggunaan lahan nomor 1 yang diganti dengan nomor 6 milik Pemerintah Provinsi Maluku.
“ Anehnya adalah berita acara lelang atau tender tidak tercantum nama peserta lelang, bahkan mekanisme penunjukan pun saya duga berbau konspirasi. Kami tidak berhenti sampai disitu tentunya akan kami uji di PTUN,” tegasnya. (TIM)