Menurut visi Pancasila, persaingan politik itu dibolehkan, bahkan didorong, guna memungkinkan tercapainya kemajuan. Namun persaingan harus dilaksanakan dengan etika, dipenuhi suasana saling menghormati antara para pihak yang bersaing. Karena yang menang akan mewakili kepentingan semua pihak, melalui keputusan yang berdasarkan konsensus.
Dengan kata lain, persaingan politik adalah bagian dari proses pencapaian konsensus, yang berwatak integralistik. Harus diakui, persaingan politik pasca pemilu 2019, sangat tidak seimbang dalam rangka mendidik watak demokrasi, dikarenakan pihak yang bermanuver sebagai oposisi, bukan lawan tanding bagi pemerintahan, karena lawan yang pantas sedang tidur, ketiduran, atau tidak sadar akan kekuatannya menjadi oposan.
Lalu mengapa kadar penerimaan politisi kekinian terhadap wawasan pancasila mengenai demokrasi integralistik sangat sempit, padahal itu dibutuhkan, guna memantapkan wawasan pancasila itu sendiri, atau menimbulkan budaya politik integratif yang akan dikembangkan dikemudian hari.
Tidak adanya pembedaan antara perbedaan pendapat politik dan tindakan subversi, juga merupakan bahaya laten dalam rangka melindungi NKRI dari goyangan agitasi dari pihak ketiga, apabila muncul tim politik kuat (oposisi sesungguhnya) yang akan menyaingi pemerintahan di masa yang akan datang.
Kita tidak bisa menampilkan secara terus menerus budaya politik kontradiktif dan kontraproduktif, karena sejatinya spirit politik integratif di pancasila bersumber pada filsafat hidup yang mementingkan hak hak dasar manusia akan kehidupan, keyakinan akan perlunya penegakan hukum, perlakuan sama atas semua warga negara tanpa memandang asal-usul etnis budaya maupun agama, melindungi mereka yang berbeda dari pendapat mayoritas anak bangsa.
Kebangunan politik integratif senyatanya dibutuhkan untuk mengintersepsi bahaya chauvinisme dan ekslusifisme yang berbahaya bagi kelanjutan hidup pancasila itu sendiri, karena menghindari budaya politik integralistik Pancasila, akan melahirkan ideologi yang otoriter dan antidemokrasi. (*)
/Penulis: Asgar Ali Tuhulele, Kepala Divisi Hukum Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdatul Ulama (FKGMNU)