AMBON, SPEKTRUM – Pariwisata di Kota Ambon dibuat tanpa konsep sehingga daya tarik yang ditawarkan kurang “menggigit” wisatawan yang ingin datang berkunjung. Terbukti dari dibangunnya trio obyek wisata: Gong Perdamaian, Taman Pattimura dan lapangan Merdeka.
Hal ini disampaikan pegiat pariwisata yang juga menjadi salah satu petinggi Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Maluku, Albert Alexander kepada Spektrum di Ambon.
Ia menyentil obyek wisata Nieuw Victoria yang sudah diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah kota (pemkot) Ambon sejak 2016 lalu sebagai cagar budaya yang berfungsi sebagai museum sejarah dan ada perjanjian tukar guling antara Kodam XVI Pattimura dengan Pemkot yang sudah dianggarkan pada tahun 2017 melalui APBN sampai sekarang tidak terlihat kemajuannya sama sekali.
“Jangan hanya asal. Benteng Victoria. Mau dimanfaatkan, tidak bisa. Lahan tukar guling sudah ada tapi tidak bisa. Pemkot bagaimana? . Itu situs budaya bersejarah. Nasib tukar guling bagaimana sampai sekarang?,” sentilnya.

Ia menyayangkan juga dibangunnya Gong Perdamaian, Taman Pattimura dan lapangan Merdeka tanpa disertai penyediaan lahan untuk tempat parkir. Setiap kali ada kegiatan di lokasi itu macetnya luar biasa yang mengganggu pengguna jalan akibat kendaraan parkir di bahu jalan.
Semestinya, jika Pemkot benar-benar ingin pariwisata menjadi program unggulan yang dapat mendatangkan pendapatan asli daerah, Pemkot harus serius menata 3 obyek wisata tersebut terlebih dahulu. Utamanya tempat parkir yang luas dan nyaman. Stand kuliner dan cenderamata. Dari lahan parkir yang dikelola dengan baik, sudah mendatangkan pendapatan tersendiri, apalagi jika ditambah dengan adanya stand kuliner dan cenderamata, akan sekaligus menggerakkan perekonomian rakyat karena ragam lapangan kerja dan kreatifitas warga atau UMKM akan tumbuh seiring pertumbuhan pariwisata.
“ Sayang, Gong Perdamaian, lapangan Merdeka, Taman Pattimura, semua dibikin tanpa konsep. Lapangan parkir tidak ada. Kalau ada acara di lapangan Merdeka akhirnya macet semua disitu. Akses kemana-mana sulit,” sesalnya.
Ia merasa heran jika tidak ada konsep strategis yang jadi acuan pembangunan pariwisata di Maluku khususnya di Kota Ambon karena ia melihat para petinggi Maluku dan Kota Ambon sudah terlalu sering wira wiri ke tempat lain seperti ke Bali, Jogjakarta dan Bandung. Bahkan ke luar negeri. Bangga menceritakan bagusnya obyek wisata dan penataannya di sana namun tidak ada pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman jalan-jalan tersebut untuk dimodifikasi sesuai karakter Maluku dan Kota Ambon.
Bahkan konsep penataan trotoar yang digunakan di Kota Ambon, kata Albert, meniru dari tempat lain pun sudah usang. Ketinggalan jauh dari konsep kota-kota pariwisata di luar Ambon.
Ketika menawarkan pariwisata, menurut Albert, semestinya sudah ada hal unik, menarik yang akan diberikan kepada calon wisatawan sehingga ketika wisatawan sudah berkunjung, mereka akan ketagihan datang kembali. Pemkot sebaiknya mendengarkan pendapat dari banyak orang, tidak bisa melihat sesuatu dari perspektif pemkot sendiri.
“Siapa yang tidak pernah pergi ke jogja? Bali? Bandung?. Mereka sering. Orang-orang pengambil keputusan, mestinya sudah punya konsep. Trotoar itu sudah 10 tahun lalu. Tidak laku lagi. Tidak bisa melihat sesuatu menurut kita sendiri,” tuturnya gundah. (S.17).