Untuk ini mereka menjawab, apakah itu damai atau perang, kita akan tetap mati. Mungkin Tuhan telah memberikan perang ini di pulau-pulau, karena mereka pantas mendapatkannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melanjutkan perang itu. Saparua,12 Juli 1817, Thomas Matulesia”.
Di sini tampak kalau Thomas Matulessy tampak memahami detail persoalan Arumbai di Porto. Tetapi mengetahui keluhan dari penduduk pulau-pulau terhadap perlakuan pemerintah Belanda.
Thomas Matulessy juga tampak mempertimbangkan peperangan, karena di satu sisi ada ajaran mengenai kedamaian dalam Agama Kristen yang dianutnya. Tapi, rupanya perang ini disikapi sebagai kehendak Tuhan.
Keinginan akan adanya seorang pendeta, juga disampaikan Thomas Matulessy kepada taruna di Kapal Maria Reigersbergen, Feldman yang diutus untuk turun ke darat menyampaikan pesan kepada Thomas Matulessy. Feldman mengaku diperlakukan tidak baik, karena dipaksa berjalan dari Benteng Duurstede sampai ke Negeri Haria (rumah ibu Thomas Matulessy) sementara Thomas Matulessy menunggang kuda. Namun, perlakuan kepada Feldman berubah ketika dia mengisahkan kalau ayahnya seorang Pendeta.
“Jika ayahmu adalah seorang pendeta, kamu harus memintanya untuk datang ke sini (Honimoa/Saparua),” kata Matulesia kepadanya seperti dicatat J. Boelan (perwira yang juga rekan Feldman dan Christiaansen) dalam catatan hariannya.
Misi Feldman dan Christiaansen (orang Denmark di Ambon fasih bahasa setempat) yang dikirim ke darat untuk menyampaikan pesan kepada Thomas Matulessy. Namun, pada 22 Juli 1817, Thomas Matulessy mengirim surat ke kapal, yang intinya menyatakan, “Setuju untuk gencatan senjata tetapi dia tidak dapat berdamai”. Surat Thomas Matulessy ini tidak pernah mendapat balasan lagi.
Kekalahan ekspedisi Mayor Beetjes di Saparua menyebabkan Komisaris Jenderal dari Batavia (Jakarta), Laksamana Muda Arnold Adriaan Buyskes harus mengambil alih otoritas seluruh Maluku dan memberhentikan Komisaris Engelhardt dan Gubernur van Middelkoop yang sebenarnya sudah mengundurkan diri. Dia tiba di Ambon pada 30 September 1817 dengan Kapal “Prins Frederik” di bawah Komando dipimpin Kapten Van Senden.
Kapal ini juga mengangkut 250 infanteri dari Batavia yang dikomandoi Mayor Meijer. Pasukan ini juga didukung pasukan Kora Kora. Sebelum ke Saparua dan Haruku, terlebih dahulu menyisir daerah-daerah di Ambon, Seram yang juga melakukan perlawanan. Setelah itu, barulah mereka menyerang Haruku dan Saparua.
Pulau Honimoa (Saparua) dikepung dari berbagai sisi, baik dari laut dan darat. Sesuai catatan pada 13 Oktober 1817, pasukan di bawah Komando Mayor Meijer, terdiri dari, 110 pelaut Eropa termasuk perwira, 30 tentara Eropa bersenjata, 20 orang pribumi. Mayor Meijer membagi kapal bersenjata menjadi tiga divisi, yang didukung pasukan Kora-Kora.
Pasukan Meijer di Saparua, pertama menghancurkan Porto dan Haria. Dari sini, pasukannya bergerak ke Tiouw, Sirri Sorri, Ullath dan Ouw. Di sini pasukan Mayor Meijer menghadapi perlawanan keras dari rakyat yang dipimpin Christina Martha Tiahahu. Pasukan Meijer mengalami kesulitan karena kehabisan amunisi, yang memaksa mereka menggunakan sangkur.
Sementara pasukan Christina menggunakan beragam senjata, termasuk batu. Christina Martha juga diketahui yang melempar batu ke arah Meijer. Di akhir pertempuran, Christina dengan lembing di tangan terperangkap dalam bumi hangus di Ullath dan Ouw. Mayor Meijer menderita luka yang cukup parah dan dibawa ke Ambon, Kapten Krieger terluka dan Letnan Richemont tewas dalam pertempuran.