Reporter : Edwin Mehlidan
AMBON,SPEKTRUM-Kabupaten Maluku Tenggara (Malra), Provinsi Maluku, diketahui merupakan daerah yang sering terjadi konflik antar warga. Sebut saja lokasi Karang Tagepe, Ohoijang, Perumda, Lorong Kalwedo dan Pokarina. Adalah kawasan yang sering menjadi langganan bentrok antar kelompok pemuda.
Untuk mencegah konflik yang tak kunjung selesai, Polres Malra bersama Pemerintah Kabupaten Malra serta Forkopimda dan tokoh masyarakat, tokoh agama hingga tokoh adat menempuh upaya upaya hukum sasi adat atau Hawear dan ritual sumpah adat.
Proses adat ini dihadiri para Raja-Raja di Malra, diantaranya Faan (Rat An) Patrisius Renwarin,Raja Ibra (Rat Kirkes) Agung Renwarin, Raja Danar (Rat Famur) Abdul Gani Hanubun, Raja Watlar, Theodorus Rahail, Raja Ohoinangan (Rat Kat’El) Muhamad Rusbal, Raja Nerong ( Rat Lo Ohoitil Nerong) Ekan Rahayaan, Raja Yarbadan (Rat Tetoat ) Hj. Darwis Renhoran.
Sasi hawear dan sumpah adat yang dilaksanakan di Taman Landmark, Ohoijang, sejak 28 Maret 2025 hingga saat ini belum dicabut. Hasilnya positif, dimana sejumlah lokasi yang sering terjadi konflik mulai berangsur aman kondusif.
Setelah dilakukan Sasi Hawear dan sumpah adat, selanjutnya para tokoh adat memberikan sosialisasi kepada seluruh masyarakat di masing-masing wilayah.
Langkah preventif yang dilakukan Bupati Malra, M. Thaher Hanubun, beserta Forkopimda dan seluruh elemen masyarakat adat tersebut, bertujuan meredam konflik yang selama ini sering terjadi.
Polda Maluku sendiri, sangat mengapresiasi prosesi sumpah adat yang dilakukan oleh Pemkab Malra.
“Proses adat yang dilakukan Pemkab Maluku Tenggara bersama Forkopimda dan masyarakat adat di sana patut dijadikan contoh dalam penanganan konflik di daerah lain di Maluku,” kata Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol. Areis Aminnulla, dalam rilis kepada wartawan Selasa (15/4/2025).
Kata dia, ritual adat yang dilakukan antara wilayah berkonflik di Kabupaten Malra masih memiliki kekuatan. Hukum adat masih dihargai, sambil tetap menghormati dan memperkuat proses hukum positif.
“Ritual ini juga menjadi sarana untuk mengatasi ketidakpercayaan yang mendalam antar kelompok masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah. Dan keberhasilan ritual ini bergantung pada ketulusan niat semua pihak dan kesediaan untuk terus melakukan konsolidasi dan rekonsiliasi,” jelasnya.
Dan hingga saat ini, sasi adat yang menjadi inisiatif dari Polres Malra belum dicabut.
“Sasi adat dan sumpah adat yang dilakukan di Maluku Tenggara dapat menjadi role model dalam penanganan konflik di sejumlah daerah di Maluku. Kami berharap, provinsi Maluku akan selalu aman, damai dan sejahtera,” pinta Areis. (*)
Tinggalkan Balasan