Penyelidikan Tukar Guling Perpustakaan Maluku Kendor

Raja Kayu Tersangkut Kasus Tanah

AMBON, SPEKTRUM – Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku  memastikan kasus dugaan kejahatan tukar guling lahan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Maluku dengan lahan Yayasan Poitech Hok Tong tahun 2017 dalam penyelidikan. 

Direktur Reskrimsus Polda Maluku, Kombes Polisi Eko Santoso mengaku, penyelidikan tetap jalan. Hanya saja masih tertutup dengan alasan penyelidikan. 

“Masih lidik. Kan penyelidikan, jadi tertutup. Intinya, masih penyelidikan,” kata Eko saat dihubungi melalui telepon selulernya.

Sebelumnya, Said Assagaff mantan Gubernur Maluku, 2013-2018, mantan Ketua DPRD Maluku, Edwin Adrian Huwae, eks Wakil Ketua DPRD, Ricahrd Rahakbauw, Mudzakir Asegaff, Nia Patiasina, dan Melkias Frans serta mantan Karo Hukum, Hendrik Far Far telah diperiksa tim penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku. 

Dari nama-nama tersebut, hanya Melkias Frans yang diperiksa penyidik di Ditreskrimsus Polda Maluku, yang terletak di Mangga Dua, Nusaniwe Ambon. 

Kerja penyidik di bawah pimpinan Kombes Eko itu, mendapat apresiasi dari kalangan praktisi hukum di Maluku. Salah satunya, Ketua YLBHI Maluku, Hendrik Lusikooy. 

Menurut Hendrik kepada Spektrum, kerja penyidik patut diberih apresiasi. Karena ditengah pendemic corona ini, mereka mampu mengumpas kejahatan korupsi di daerah 1000 pulau ini. Bahkan, nilai kerugian dalam kasus ini terbilang besar sebagaimana hasil pemeriksaan LDK dari BPK RI di tahun 2018. 

“Hanya saja, kami berharap rangkaian penyelidikan dapat transfaran ke publik. Sehingga, perhatian publik terhadap kasus ini benar-benar sirasakan kepastian hukumnya,” ujar Hendrik. 

Dikatakan, rangkaian penyelidikan yang dimaksud dalam Hukum Acara Pidana adalah, untuk mencari alat bukti baik keterangan saksi maupun alat bukti lainnya untuk menerangi suatu perbuatan pidana. Sehingga, normatifnya dari penanganan kasua ini, Polisi harus lebih terbula ke publik soal rangkaian penyelidikannya. 

“Kasus ini kan berpatokan pada adanya temuan BPK. Apalagi ada pengakuan saksi (Melkias Frans) yang menerangkan demikian. Ini sudah menjadi bukti awal, tinggal bagaimana keterangan saksi lainnya untuk memperkuat adanya dugaan tersebut,” sambung dia. 

Sebelumnya, Richard Rahakbauw, Melky Frans Anggota DPRD Propmal priode 2014-2019 itu ikut diperiksa. Selain itu, mantan Gubernur Malulu, Said Asagaff dan mantan Ketua DPRD Maluku, Edwin Huwae juga ikut diperiksa.

Melky Frans yang diperiksa saat itu mengatakan, dirinya memenuhi undangan dalam rangka memberi keterangan soal tukar guling lahan antara Pemerintah Provinsi Maluku  dengan Yayasan Poitech Hok Tong.

“Saya sudah dipanggil bulan lalu (Juli) oleh Krimsus Polda Maluku dalam rangka untuk memberi keterangan terkait dengan permasalahan Yayasan Poitech dengan Pemerintah Maluku khusus lahan dan Perpustakaan. Komisi I saat tahun 2017 lalu itu membahas masalah ini. Karena aset daerah jadi harus ada persetujuan DPRD,” singkat Melki Frans, saat itu.

Ia mengaku, Komisi A saat itu dipimpinnya. Dimana, persoalan tersebut sebelumnya di bahas di komisi A berdasarkan surat masuk dari Yayasan Poitech  dan Pemprov Maluku. 

Pemda dalam hal ini, Gubernur Maluku, Said Assagaff saat itu, dan para pihak termasuk kepala perpustakaan, Biro hukum dan BPKAD duduk membahasnya bersama kuasa hukum dari Poitech juga Pemda.

“Nah karena terkait dengan aset daerah harus ada persetujuan dari DPRD. Saya ketua komisi A saat itu  dipanggil Krimsus untuk memberi keterangan. Nanti ada perbaikan-perbaikan tentang keterangan, karena saya belum tanda tangan dan lainnya,” sebut dia. 

Ia juga mengaku, pihaknya tentu mendorong proses perkara ini. Dimana, kasus ini kabarnya ada temuan BPK yang menyatakan, dalam proses pengalihan lahan atau tukar menukar lahan antara Pemprov dan Poitech, diduga terjadi korupsi hingga merugikan negara Rp.3 miliar.

“Jadi saya mau clear kan. Lahan perpustakaan itu sebenarnya milik Poitech. Pada saat pergolakan PKI tahun 1965, Maluku ini dinyatakan sebagai daerah darurat sipil atau militer. Jadi kepala daerahnya adalah kepala daerah darurat. Karena mereka ini orang China, saat itu diduga dukung PKI, sehingga Yayasan China atau sekolah itu diambil alih oleh pemerintah darurat ketika itu. Pasca dingin,  selesai ini di bawah pengawasan Kementerian Pertahanan, dan diberikan kepada Dikbud,  otonomi kemudian diserahkan kepada Provinsi,” jelas Melky. 

Dan oleh Pemprov Maluku, kata Melky, kemudian mengurus surat sertifikat hak pakai lalu dibangunlah perpustakaan. Ternyata ini hak milik orang lain. Di perjalanan, Yayasan Poitech meminta lahannya dikembalikan oleh Pemprov.

Poitech karena merasa mereka dengan pemerintah bermitra,  mereka lalu berikan lahan baru di Poka, sebagai ganti lahan dumaksud, dalam bentuk terima kasih. Sementara bangunan perpustakaan, dipakai  lembaga appresiasial untuk menghitung nilai bangunan. 

“Jadi ini ada kelemahan di pemerintah provinsi. Mereka membuat judul di situ tukar menukar lahan. Jadi seakan-akan terjadi tukar guling. Padahal, ini kan lahan orang yang mau diambil kembali. Jadi ini ada kesalahan administratif yang berimplikasi pada persoalan hukum. Karena judulnya lain kan,” timpal Melky. (S-07)