AMBON, SPEKTRUM – Publik Maluku dikejutkan dengan langkah berani yang diambil Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon, Dian Fris Nalle, dengan menghentikan proses penyelidikan atas kejahatan luar biasa (Exstra-ordinary crime) yakni: dugaan tindak pidana korupsi di DPRD kota Ambon tahun anggaran 2020, yang berdasarkan hasil temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Maluku merugikan keuangan negara senilai Rp.5,3 Miyar.
Berdasarkan fakta yuridis normatif, menggambarkan bahwa proses penghentian penyelidikan atas kasus dugaan korupsi DPRD Kota Ambon mengalami cacat prosedur atau tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Sehingga perlu adanya upaya hukum praperadilan atas tidak sahnya penghentian penyelidikan sebagaimana amanat dalam KUHAP agar perkaranya bisa dilanjutkan ataupun dibuka kembali.
“Kita juga berharap semoga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi agar mengambil alih atas perkara ini,” kata Ruswan Latuconsina yang berprofesi sebagai pengacara di Jakarta ini kepada Spektrum semalam.
Menurutnya, Rp.1,5 Milyar tidak dapat dipertanggung jawabkan secara wajar.
Normatifnya, hukum acara atau prosedur proses penanganan tindak pidana korupsi pada ruang lingkup Kejaksaan Negeri Ambon harusnya secara konsisten merujuk pada UU. No. 18 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 20 tahun 2001 perubahan atas UU. No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) serta hasil “Nota Kesepakatan Bersama” 4 (empat) lembaga negara yakni : Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (KEJAGUNG), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (MENKOPOLHUKAM) tertanggal 17 2 Oktober 2012 tentang pelaksanaan penerapan dan penyesuaian penanganan perkara pidana, sebagai hirarki hukum acara/ atau prosudur dalam penanganannya.
Kontraproduktif atas prosedur hukum acara dalam penanganan perkara dugaan korupsi DPRD Kota Ambon oleh Kejari Ambon telah terlihat sejak awal penanganan perkara dimulai, dimana menurut pasal 1 ayat 1 dan 2 KUHAP tahapan penyelidikan seharusnya sebagai langkah awal berdasarkan rujukan temuan audit BPK untuk mengungkapkan benar adanya suatu peristiwa tindak pidana, sehingga dari hasil penyelidikan tersebut ditemukan suatu tindak pidana korupsi, maka harusnya menaikan status penanganannya menjadi penyidikan.
“Tetapi Kejari Ambon dengan nekatnya tidak menaikan status penanganan perkara ke tahap penyidikan malahan langsung melakukan penghentian penyelidikan,” katanya.
Hal ini tergambar jelas bahwa Kejari Ambon telah mendistorsi hukum dengan
menggabungkan tahapan penyilidikan, penyidikan, penuntutan serta upaya
memutuskan bersalah dan tidaknya terduga pelaku tindak pidana korupsi dalam satu tahapan tanpa landasan hukum yang jelas, yang didalamnya terdapat kewenangan hakim peradilan khusus Tindak pidana korupsi untuk memutuskan.
Penghentian penyelidikan korupsi DPRD Kota Ambon juga tidak bisa dibenarkan
menggunakan alasan dengan prinsip keadilan restoratif (restoratif justice), sebab
merujuk pada hasil “Nota Kesepakatan Bersama” 4 (empat) lembaga negara yakni Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (KEJAGUNG), Kepolisian Republik
Indonesia (POLRI), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(MENKOPOLHUKAM) tertanggal 17 Oktober 2012 tentang pelaksanaan penerapan dan penyesuaian penanganan perkara pidana, bahwa penerapan “Restoratif justice” ada batasannya, yakni tidaklah berlaku pada tindak pidana yang hukuman pidananya menggunakan sanksi minimum termasuk tindak pidana korupsi.
Kejari Ambon memberikan argumentasi hokum, bahwa perkara ini setelah dihentikan masih bisa dibuka kembali apabila ditemukan bukti baru atau “novum”.
“Argumentasi ini sangatlah kabur (abscuur), sebab penghentian kasusnya atas dasar pengembalian uang hasil dugaan korupsi dan juga atas alasan azas keadilan dan kemanfatan, bukan dengan alasan menurut KUHAP, yakni tidak cukup bukti ataupun alasan bukan merupakan suatu tindak pidana korupsi.
Sehingga bukti tidak perlu ditunggu, sebab buktinya sekarang sudah didepan mata namun dikesampingkan,” katanya.
Sementara itu, juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri yang dikonfirmasi terkait kemungkinan KPK mengambil alih penyelidikan kasus ini menegaskan, jika KPK ambil alih dibeberapa kasus oleh KPK jika perkara pada tahap penyidikan.
“Beberapa kasus diambil alih oleh KPK jika perkara pada tahap penyidikan,” katanya ketika dihubungi Spektrum semalam.
Bahkan, Ali menegaskan jika satu kasus akan diambil alih KPK jika sesuai dengan Pasal 10 A UU KPK. (HS-16)