AMBON, SPEKTRUM – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengecam keras dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh staf Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Provinsi Maluku yang dilakukan dinas tersebut.
“Jajaran KemenPPPA berkomitmen untuk mengawal kasus tersebut bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yaitu Dinas PPPA Provinsi Maluku dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) setempat yang secara fungsional memiliki tugas yang sama dengan KemenPPPA dalam melakukan pelayanan, khususnya penjangkauan korban serta pendampingan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dan bantuan hukum,” ujar Menteri PPPA, Bintang Puspayoga di Jakarta, Senin (17/07/2023) dalam siaran persnya.
Lebih lanjut, Menteri PPPA mendorong aparat penegak hukum untuk mengawal kasus ini agar korban mendapatkan hak atas keadilan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami menilai korban mengalami tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yaitu pada pasal 5 apabila kekerasan seksual non-fisik atau pasal 6 apabila kekerasan fisik,” tutur Menteri PPPA.
Terduga pelaku ditengarai merupakan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga telah melanggar peraturan sebagai ASN dan dapat dijatuhi hukuman disiplin. ASN sebagai profesi di antaranya berlandaskan pada prinsip nilai dasar, kode etik, dan kode prilaku yang diatur dalam pasal 3 sampai dengan pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
“Guna menciptakan kenyaman bagi terduga korban, maka institusi tempat terduga pelaku dan terduga korban bekerja wajib memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas keadilan bagi korban, termasuk pemulihan jika korban mengalami trauma secara psikis, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 66 UU TPKS,” jelas Menteri PPPA.
Menteri PPPA menegaskan, tidak ada toleransi sekecil apapun bagi tindak kekerasan seksual. Selain itu, pihaknya menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Daerah Provinsi Maluku atas gerak cepat penanganan kasus ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
“Kami meminta Pemerintah Daerah Provinsi Maluku untuk terus mengawasi dan menginvestigasi dugaan kasus tersebut. Pola dalam kasus ini sudah termasuk dalam kategori kriminalitas dan kejahatan paling serius atau ‘graviora delicta’ yang harus segera ditangani. Tindak pidana kekerasan seksual ini bukan hanya adanya relasi kuasa, tetapi karena yang melakukan kejahatan ini adalah seseorang yang memiliki profesi terhormat yang harusnya melindungi bukan sebaliknya dan hal ini bertentangan dengan UU TPKS,” tegasnya.
Menteri PPPA pun mengajak masyarakat yang mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan untuk berani melapor ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU TPKS, seperti UPTD PPA, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian.
“Masyarakat juga dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129,” pungkas Menteri PPPA.
Sementara itu, menyikapi kasus pelecehan tersebut, sejumlah perempuan Maluku di Kota Ambon yang tergabung dalam Gerak Bersama Perempuan Maluku mendatangi Kantor Gubernur dan DPRD Maluku, Selasa (18/07/2023).
Saat mendatangi Kantor Gubernur Maluku, koalisi perempuan diterima Kepala Kesbangpol, Daniel Indey, selanjutnya rombongan menuju DPRD Maluku.
Di lembaga legislative, rombongan diterima Ketua DPRD Maluku, Benhur Watubun bersama Komisi IV di ruang Rapat Badan Musyawarah (Bamus) lantai 4 Sekretariat DPRD Maluku.
Dalam pertemuan tersebut, Saswaty Matakena dari PWKRI Maluku membaca pernyataan sikap yang terdiri atas 5 butir, yakni kekerasan seksual yang dialami korban, HR, diduga dilakukan atasannya DK padahal, selaku pimpinan pada dinas tersebut DK mestinya menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjaga marwah dinas, namun justru melecehkan dan menghina amanah ini. Bahwa situasi ini adalah kondisi yang tidak saja memprihatinkan namun juga darurat untuk sesegara ditangani.
“Mengacu pada Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara No.10 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual,maka kami Gerak Bersama Perempuan Maluku menuntut Pimpinan Aparat Sipil Negara (ASN) Provinsi Maluku untuk segera meng-non aktifkan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku dan melepaskan yang bersangkutan dari jabatannya saat ini pula melakukan tindakan disipliner lainnya yang diperlukan,” kata Saswaty Matakena.
Sebagai langkah prioritas memutus mata rantai kekerasan seksual, Bapak Gubernur dan Bapak Sekda Maluku agar segera mempertimbangkan rekam jejak kejahatan seksual yang dimiliki oleh yang bersangkutan untuk tidak lagi memberikan jabatan kepada yang bersangkutan. Hal ini akan sekaligus menjadi upaya pemulihan dari korban-korban baik yang telah dengan kekuatannya berani berbicara dan/atau mengungkapkan pengalaman kekerasan seksual yang dialami sehingga kejahatan oknum Kepala Dinas itu terungkap, maupun korban-korban yang tidak sempat untuk berani berbicara dan/atau mengungkapkan pengalaman kekerasan seksual yang dialami dan memendam trauma dalam hidupnya.
Memberikan upaya perlindungan dan pemulihan bagi korban serta memastikan ruang aman bagi korban-korban.
Membuka ruang yang luas bagi korban untuk melakukan upaya hukum sebagaimana yang menjadi haknya, ini sekaligus juga akan menjadi bentuk pemulihan bagi korban dan efek jera bagi pelaku.
Segera mengambil langkah yang tepat dan strategisuntuk mengembalikan marwah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku sebagai lembaga yang layak menjadi rumah yang nyaman bagi Perempuan dan Anak Maluku korban kekerasan.
Setelah itu, pernyataan sikap tersebut diserahkan kepada Ketua DPRD Maluku, Benhur G. Watubun.
Dalam pertemuan tersebut, Watubun menegaskan DPRD Maluku mendukung langkah Gerak Bersama Perempuan Maluku.
“Pelaku kekerasan seksual dilingkungan ASN harus segera dinonaktifkan sesuai tuntutan Gerak Bersama Perempuan Maluku denga melalui proses yang dibutuhkan. Selain itu, dalam proses pembahasan LPJ Gubernur Maluku, DPRD menolak dengan tegas kehadiran DK, kepala Dinas P3A Maluku. Itu artinya, kami sehati dengan Gerak Berasam Perempuan Maluku,” kata Watubun. (*)