JAYAPURA, SPEKTRUM – Herman Yoku Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), meminta KPK bertindak lebih serius menyikapi kasus dugaan korupsi yang melibatkan Gubernur Papua, Lukas Enembe. Bila perlu, Presiden Jokowi yang bertindak supaya hukum benar-benar ditegakkan di seluruh wilayah Papua.
“Negara tidak boleh kalah dari koruptor. Kalau negara kalah, koruptor akan menggilas kita semua,” kata Herman Yoku di Sentani, Papua, Kanis (13/10/2022).
Bukan saja meminta pemerintah tegas, Herman juga mempertanyakan legalitas Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagai kepala suku besar orang Papua.
“Pihak yang mengukuhkan Lukas Enembe menjadi Kepala suku besar legalitasnya dipertanyakan, sebab, Dominikus Sorabut yang mengklaim dirinya sebagai Ketua Dewan Adat Papua (DAP) dan melantik Lukas ternyata adalah Ketua DAP versi Papua Merdeka,” kata Herman Yoku yang juga Ketua Suku Besar Wikaya.
Menurut Herman, dewan adat ini adalah organisasi yang dibentuknya, dan dirinya pernah menjadi Ketua Dewan Adat Papua (DAP).
“DAP itu rumah saya. Saya kaget, ada dewan adat pergi lantik seorang kepala suku di wilayah adat orang lain. Bagi saya tidak masuk akal. Saya mau tanya, Dominikus Sorabut, kau sebagai apa? Kepala suku kan bukan,” tegas Herman.
Menurut mantan Ketua Dewan Adat Keerom ini, Dominikus Sorabut adalah Ketua DAP versi KLB Papua Merdeka. KLB juga yang inisiasi kelompok Forkorus Yaboisembut tahun 2011.
Herman hanya mengakui DAP di bawah kepemimpinan Yan Piet Yarangga, yang kembali terpilih berdasarkan hasil Konfrensi Besar Masyarakat Adat Papua (KBMAP) ke-4 di Kabupaten Kaimana tahun 2021 yang lalu.
“Saya yang menurunkan Forkorus lantaran tidak sejalan dengan misi Dewan Adat. Karena tugas Dewan Adat adalah melindungi seluruh masyarakat adat, melestarikan budaya, dan mengangkat kembali nilai-nilai para budayawan dan para seniman,” kata Herman.
Karena itu, bagi Herman, pengukuhan Lukas Enembe oleh Dominikus Sorabut perlu diluruskan, yaitu Lukas sebagai Kepala suku besar di wilayah pegunungan.
“Bagi saya bapa Lukas adalah kepala suku di kampungnya. Kepala suku di Puncak Jaya atau di Tolikara, atau di Nduga. Tetapi setahu saya, kepala suku Jaya Wijaya hanya satu, yaitu Silo Karno Doga, anak dari Obahorok. Hari ini yang menjadi kepala suku besar di Jaya Wijaya adalah anaknya Silo Doga, atau cucunya Obahorok,’’ kata Kepala Suku Besar Wikaya Awiy Souyo, suku besar yang mendiami wilayah perbatasan RI-PNG di Keerom ini.
Pengukuhan seorang kepala suku tambah Herman, selalu dilakukan di wilayah adatnya, bukan di wilayah adat orang lain. Orang yang melakukan ritual pengukuhan pun juga bukan orang lain, tetapi harus memiliki garis keturunan secara langsung dengan orang yang dilantik tersebut.
“Supaya disaksikan cacing di dalam tanah, kalajengking di atas tanah, manusia yang di atas tanah, kemudian alam menyaksikan, dan yang lebih berkuasa adalah Tuhan yang menyaksikan. Seperti saya dikukuhkan oleh moyang saya. Tidak boleh oleh orang lain, karena harus dari keturunannya,” tutur Herman. [*]